RKUHAP: Penegak Hukum Harus Seimbang, Jangan Ada Ketimpangan Kewenangan

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember Prof M Arief Amrullah SH MHum.-Edi Winarko-
JEMBER, MEMORANDUM.CO.ID - Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) tengah menjadi perhatian serius di kalangan praktisi dan akademisi hukum.
BACA JUGA:Guru Besar Baru UNEJ, Prof. Ika: Pemasaran Jasa Butuh Seni dan Sains
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember Prof M Arief Amrullah SH MHum menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan kewenangan antarpenegak hukum dalam implementasi Hukum Pidana.
--
Menurutnya, ketimpangan kewenangan dalam perubahan RKUHAP dapat menimbulkan permasalahan sistemik yang menghambat proses penegakan hukum. Hal ini berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum dan permasalahan serius dalam praktik penegakan hukum di Indonesia.
BACA JUGA:Universitas Jember Kukuhkan 7 Profesor, Miliki 80 Guru Besar
Ia menekankan bahwa pembahasan RKUHAP harus berfokus pada reformasi sistem yang menciptakan penegakan hukum yang lebih efektif, transparan, dan berkeadilan.
“Keseimbangan kewenangan antarpenegak hukum harus diwujudkan untuk mencegah tumpang tindih kewenangan. RKUHAP harus menjadi solusi, bukan menambah masalah baru,” ujarnya.
Prof Arief menegaskan bahwa ketimpangan kewenangan harus diatasi dalam pembahasan RKUHAP. Ia mengusulkan agar proses penyidikan dan penuntutan lebih terintegrasi, bukan menambah atau mengurangi kewenangan jaksa dan polisi yang dapat menimbulkan perselisihan. Diferensiasi fungsional harus dihormati agar masing-masing lembaga dapat menjalankan tugasnya dengan efektif.
Ia juga menggarisbawahi sejumlah potensi masalah dalam draf RKUHAP yang dapat mengganggu prinsip keadilan, hak asasi manusia, dan transparansi hukum:
BACA JUGA:Tokoh Nasional dan Sejumlah Alumnus FH Unej Hadiri Pengukuhan 2 Guru Besar
1. Kewenangan Berlebihan bagi Jaksa
UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Pasal 8 Ayat (5) menyatakan bahwa pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, hingga penangkapan jaksa hanya dapat dilakukan dengan izin Jaksa Agung. Aturan ini berpotensi menciptakan kesan bahwa jaksa memiliki kewenangan hukum yang lebih tinggi, sehingga merusak kepercayaan publik terhadap institusi hukum.
Sumber: