Peran Kiai Pesantren dalam Menjaga Stabilitas Demokrasi Menjelang Pilkada 2024
Baijuri, M.E. (Ketua PMII Jawa Timu (Penulis)--
Baijuri, M.E.
Ketua PMII Jawa Timur
JEMBER, MEMORANDUM.CO.ID - Tulisan ini disusun untuk merespon fenomena memanasnya demokrasi Indonesia yang belakangan memanas menjelang Pilkada 2024.
Beberapa hari lalu tersebar di media, tentang terbunuhnya warga Sampang Madura yang diduga disebabkan perbedaan pilihan Pilkada. Selain itu, tulisan ini ditujukan untuk menegaskan peran Kiai Pesantren dalam menjaga stabilitas demokrasi menjelang Pilkada 2024.
Pilkada serentak 2024 menjadi salah satu momentum penting bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Namun, seperti perhelatan politik sebelumnya, dinamika yang muncul menjelang Pilkada sering kali memanas.
Polarisasi politik, kampanye hitam, dan penyebaran hoaks menjadi fenomena yang tidak dapat dihindari. Kondisi ini tidak hanya berpotensi memecah belah masyarakat, tetapi juga mengancam stabilitas sosial di berbagai daerah.
BACA JUGA:Pjs Bupati Jember Berangkatkan Pendistribusian Logistik Pilkada 2024 ke 31 Kecamatan
Sebagai contoh, fenomena tawuran antar warga yang menewaskan satu korban, yang baru saja terjadi di kabupaten Sampang adalah aib bagi demokrasi Indonesia.
Di tengah dinamika tersebut, peran kiai pesantren menjadi sangat strategis. Sebagai tokoh agama yang dihormati, kiai memiliki posisi unik di masyarakat. Mereka tidak hanya dipandang sebagai penjaga nilai-nilai moral, tetapi juga sebagai sumber kebijaksanaan yang mampu menyelesaikan konflik.
Kiai pesantren, dengan integritas moral dan kapasitas intelektualnya, memiliki kemampuan untuk menjadi narator yang menjaga kerukunan umat di tengah arus politik yang kerap memecah belah. Hal demikian yang dikatakan Antonio Gramsci sebagai intelektual organik.
Kharismatik Kiai Pesantren, Kiai pesantren dikenal sebagai figur kharismatik yang pengaruhnya melampaui batas-batas agama, sosial, bahkan politik.
BACA JUGA:Polres Jember Kawal Demokrasi dengan NCS Ajak Masyarakat Menuju Pilkada 2024 Aman dan Damai
Penghormatan terhadap kiai tidak hanya berasal dari santri, tetapi juga masyarakat luas, termasuk mereka yang tidak terlibat langsung dalam aktivitas pesantren. Kharisma seorang kiai lahir dari integritasnya dalam memegang nilai-nilai agama, serta pengabdian kepada masyarakat.
Kiai menjadi teladan dalam menjaga harmoni sosial, menjembatani perbedaan, dan memberikan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi umat.
Di era modern, kharisma kiai tidak hanya dilihat dari sisi spiritual, tetapi juga dari kemampuan mereka memahami dinamika sosial dan politik. Dengan penguasaan ilmu agama yang mendalam dan wawasan yang luas, kiai mampu menyampaikan pesan-pesan yang tidak hanya relevan, tetapi juga memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Ihwal kharismatik figur kiai pesantren ini banyak digagas oleh Max Weber dalam teori sosiologi agamanya.
Sumber: