Kapolres Tulungagung Rilis Ungkap Kasus Sabu dan Ekstasi Senilai Setengah Miliar

Kapolres Tulungagung Rilis Ungkap Kasus Sabu dan Ekstasi Senilai Setengah Miliar

AKBP Muhamad Taat Resdianto memberikan keterangan pers.--

TULUNGAGUNG, MEMORANDUM.CO.ID - Kapolres Tulungagung, AKBP Muhamad Taat Resdianto memimpin pres rilis ungkap kasus peredaran sabu dan ekstasi senilai setengah miliar yang melibatkan jaringan lapas, Rabu 18 September 2024. 

Tersangka dalam kasus ini adalah Fendi Hendra Hermawan (30), warga Kelurahan Kenayan, Kecamatan/Kabupaten Tulungagung.

Kapolres Taat Resdi mengatakan, tersangka ditangkap pada Selasa 11 September 2024 saat melintas di wilayah kota. Polisi kemudian melakukan pendalaman dengan menggeledah rumah kontrakannya di Desa Bendo, Kecamatan Gondang, Kabupaten Tulungagung. 

BACA JUGA:Kapolsek Karangrejo Terima Penghargaan dari Kapolres Tulungagung ketika Upacara HKN 2024

"Dari sana ditemukan 5,5 ons sabu dan 463 butir pil ekstasi siap edar, serta beberapa barang bukti lainnya," terangnya.

Menurut AKBP Muhammad Taat Resdi, ini merupakan pengungkapan kasus peredaran narkotika dengan barang bukti paling banyak yang dilakukan satresnarkoba.

Kemudian dari hasil pendalaman, dipastikan jika tersangka adalah residivis yang kembali menjadi pengedar narkotika selama 7 bulan terakhir.

BACA JUGA:Cara Unik Kapolres Tulungagung Menginsipirasi Anggota, Kunjungi Mapolsek Sembari Lari Pagi

"Tersangka merupakan residivis kasus narkotika," ujarnya.

Menurut AKBP Taat, rata-rata setiap bulan tersangka bisa mengedarkan hingga 1 kilogram sabu kepada pengguna di wilayah hukum Polres Tulungagung.

Pengakuan tersangka, ia mendapatkan perintah untuk mengirimkan paket sabu dengan sistem ranjau kepada pembeli dari seorang terpidana yang kini masih di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Magetan. Keduanya saling kenal ketika sama - sama mendekam di dalam lapas.

BACA JUGA:Disiplinkan Pengendara dan Tekan Lakalantas, Satlantas Polres Tulungagung Razia di Jalur Black Spot

Paket sabu per gram dijual Rp 800 ribu hingga Rp 1,2 juta. Dari setiap transaksi, tersangka mendapatkan upah Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu.

"Setelah terjadi kesepakatan, tersangka menerima narkotika melalui ekspedisi dengan sistem ranjau. Tersangka ngakunya tidak mengetahui siapa pengirimnya. Yang dia tau hanya pemiliknya. Penjualannya juga dengan sistem ranjau, atau melayani sesuai perintah bandar. Mulai penentuan jumlah barang, serta titik lokasi transaksi yang disepakati," paparnya.

Sumber: