Bukan Sekadar Status, Risiko Nikah Muda Tanpa Kesiapan Mental akan Pengaruhi Psikologi
Psikolog Universitas 17 Agustus Surabaya Nurul Qomariah--
SURABAYA, MEMORANDUM.DISWAY.ID - Aksi ibu muda berinisial RH (19) asal Desa Kaliglagah, Sumberbaru, Jember memutilasi bayi laki-laki yang baru dilahirkan dapat sorotan dari masyarakat.
Psikolog Universitas 17 Agustus Surabaya Nurul Qomariah, M.Psi., menjelaskan dari sudut pandang psikologi, bahwa menikah di usia muda dapat mempengaruhi kondisi psikologis seseorang.
BACA JUGA:Ditaklukkan Perseden Denpasar, Pelatih Gresik United Singgung Psikologis Pemain Muda

Mini Kidi--
Sebab, usia muda adalah tahap seseorang melakukan eksplorasi dalam pembentukan identitas, eksplorasi dalam pembentukan kemandirian dan ekonomi serta eksplorasi membangun relasi intim yang sehat.
"Artinya, ketika seseorang masih dalam tahapan perkembangan remaja namun menjalani tuntutan peran dewasa melebihi kapasitas perkembangannya dan tanpa dukungan yang memadai maka akan rentan mengalami berbagai tekanan," katanya, Selasa, 23 Desember 2025.
Terlebih, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merekomendasikan usia ideal menikah bagi perempuan minimal 21 tahun dan laki-laki 25 tahun.
BACA JUGA: Rikkes dan Tes Psikologi Calon Pegawai SPPG Patianrowo Digelar di Polres Nganjuk
Menurutnya, Ini bukan tanpa sebab. Di usia tersebut laki-laki dan perempuan secara tahapan perkembangan psikologis, emosional, sosial dan reproduksi dinilai sudah lebih matang.
"Artinya dinilai siap untuk menghadapi tanggung jawab dalam relasi pernikahan. Apalagi ketika pasangan dikaruniai seorang anak. Ketika pasangan dinilai siap menjalani transisi ke kehidupan berumah tangga, ini memperkecil kemungkinan terjadinya perceraian, kekerasan dalam rumah tangga dan pola asuh yang tidak sehat," tegasnya.
BACA JUGA:Menyemai Moderasi Beragama di Pesantren: Konseling dan Komunikasi Psikologis bagi Santri Remaja
Rya menerangkan bila menjadi orangtua adalah proses adaptasi yang melibatkan banyak aspek seperti adanya perubahan identitas, kebutuhan pengelolaan emosi yang baik dan kebutuhan akan dukungan emosional dan finansial.
"Pada banyak pasangan, menjadi orangtua adalah peran yang ditunggu-tunggu namun sebagian lainnya memiliki kekhawatiran atau ketakutan akan peran menjadi orangtua," terangnya.
Oleh karena itu, menjadi orangtua membutuhkan emosional yang Tangguh dan dukungan lingkungan yang memadai.
Sumber:


