Ghosting dan Blokir: Tren Modern Menghindari Tanggung Jawab Hukum di Era Digital

Ghosting dan Blokir: Tren Modern Menghindari Tanggung Jawab Hukum di Era Digital

Founder dan CEO top Legal Anis Tiana Pottag, S.H., M.H., M.Kn., M.M. --

Jika salah satu pihak dalam hubungan pacaran menerima dukungan finansial—misalnya uang, barang, atau hadiah lainnya—berdasarkan janji untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan, namun setelah menerima keuntungan finansial tersebut tiba-tiba memblokir semua akses komunikasi dan menghilang, maka tindakan ini dapat memenuhi unsur penipuan sesuai dengan Pasal 378 KUHP. Pihak yang dirugikan berhak mengajukan laporan kepada pihak berwenang dan menuntut pelaku atas dasar penipuan, karena tindakan blokir memperlihatkan niat untuk menghindari pertanggungjawaban.

2. Ghosting dan Blokir dalam Pernikahan: Pengabaian Kewajiban Nafkah dan Hak Asuh Anak

Dalam konteks pernikahan, kewajiban terhadap pasangan dan anak-anak diatur oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 34 ayat (1) UU tersebut mengatur bahwa:

"Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya."

Pasal ini menunjukkan bahwa suami memiliki kewajiban hukum untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Jika seorang suami menghilang dan memblokir akses komunikasi tanpa memenuhi kewajiban nafkah, maka tindakan ini dapat dianggap sebagai pengabaian tanggung jawab yang diatur oleh undang-undang.

Istri yang ditinggalkan berhak mengajukan gugatan nafkah ke pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UU Perkawinan, yang menyatakan bahwa pengadilan dapat memutuskan pemberian nafkah kepada istri dan anak-anak setelah perceraian atau selama pisah ranjang.

Jika suami yang telah menghilang tidak mematuhi putusan pengadilan tentang nafkah, maka pengadilan dapat memerintahkan eksekusi atas harta kekayaan suami untuk memenuhi kewajiban tersebut. Selain itu, jika terdapat unsur niat untuk menghindari tanggung jawab hukum secara sengaja, tindakan ghosting dan blokir ini juga dapat diajukan sebagai bentuk penelantaran keluarga, yang dapat dituntut melalui jalur hukum perdata maupun pidana.

3. Ghosting dan Blokir dalam Pembagian Harta Bersama: Pasal 35 dan Pasal 36 UU Perkawinan

Ketika pasangan menghilang dan memblokir akses tanpa menyelesaikan kewajiban pembagian harta bersama, tindakan tersebut melanggar ketentuan Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa harta yang diperoleh selama pernikahan adalah harta bersama yang harus dibagi secara adil jika terjadi perceraian.

Pasal ini mengatur bahwa setiap harta yang diperoleh selama pernikahan, kecuali harta bawaan atau harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan, merupakan harta bersama yang harus dibagi di antara suami istri.

Lebih lanjut, Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa:

"Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak."

Ketika salah satu pasangan menghilang tanpa membagi harta bersama atau memblokir komunikasi, pihak yang dirugikan berhak mengajukan gugatan ke pengadilan untuk menuntut haknya atas harta bersama. Jika pasangan yang menghilang terus menolak memenuhi kewajibannya, pengadilan dapat memerintahkan penyitaan aset untuk menjamin pembagian harta sesuai hukum yang berlaku.

4. Ghosting dan Blokir dalam Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua: Pasal 298 KUHPerdata

Ghosting dan blokir juga sering terjadi dalam konteks hubungan keluarga, terutama ketika anak-anak mengabaikan kewajiban mereka untuk merawat orang tua yang lanjut usia.

Sumber: