Ghosting dan Blokir: Tren Modern Menghindari Tanggung Jawab Hukum di Era Digital
Founder dan CEO top Legal Anis Tiana Pottag, S.H., M.H., M.Kn., M.M. --
Ghosting dan blokir dalam pembentukan perusahaan dapat membawa konsekuensi hukum yang sangat serius bagi pelaku. Ketika salah satu pihak memutuskan untuk menghilang dan memblokir akses komunikasi, tanpa menyelesaikan kewajiban bisnisnya, hal ini bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum, baik dalam bentuk wanprestasi maupun penipuan.
1. Wanprestasi: Jika tindakan ghosting dan blokir menyebabkan salah satu pihak gagal memenuhi kewajiban kontraktualnya, pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata. Pihak yang ditinggalkan dalam situasi ini dapat menuntut kompensasi atas kerugian finansial yang dialami akibat kegagalan pihak lain dalam memenuhi kewajibannya.
2. Penipuan: Jika terbukti ada niat untuk menipu sejak awal, pelaku dapat dikenakan tuntutan pidana berdasarkan Pasal 378 KUHP. Dalam kasus penipuan, pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara hingga empat tahun atau dikenakan denda. Penipuan sering kali diindikasikan oleh tindakan blokir, terutama ketika pelaku memutuskan komunikasi setelah menerima tanggung jawab atau kewajiban finansial.
3. Kompensasi Finansial: Selain tuntutan pidana, pihak yang dirugikan juga berhak menuntut kompensasi finansial untuk menutupi kerugian yang dialami, termasuk biaya operasional yang tidak terselesaikan, pengembalian dana kepada klien, serta pemulihan reputasi bisnis.
Ghosting dan blokir dalam konteks pembentukan perusahaan tidak hanya tindakan yang tidak etis, tetapi juga bisa melibatkan pelanggaran hukum yang serius.
Ketika salah satu pihak dalam perjanjian bisnis menghilang dan memutus komunikasi tanpa memenuhi kewajiban yang disepakati, hal ini bisa dianggap sebagai wanprestasi, dan dalam beberapa kasus, bisa dituntut sebagai penipuan jika terbukti ada niat untuk menipu sejak awal.
Pihak yang dirugikan oleh tindakan ghosting dan blokir memiliki hak untuk menuntut pelaku, baik melalui jalur perdata atas dasar wanprestasi, maupun melalui jalur pidana atas dasar penipuan.
Pelaku yang menghilang tanpa memenuhi kewajiban bisnisnya dapat menghadapi hukuman penjara, denda, serta kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.
Dengan memahami bahwa ghosting dan blokir dalam bisnis memiliki implikasi hukum yang serius, sangat penting bagi pelaku bisnis untuk menjalankan kewajiban kontraktual mereka dengan itikad baik dan menjaga komunikasi yang terbuka hingga semua tanggung jawab diselesaikan.
Analisis Hukum Ghosting dan Blokir dalam Hubungan Pribadi
Ghosting dan blokir dalam hubungan pribadi, terutama ketika melibatkan kewajiban finansial, janji, atau tanggung jawab hukum lainnya, dapat membawa konsekuensi hukum yang serius.
Dalam hukum Indonesia, berbagai aturan mengatur hak dan kewajiban individu dalam konteks hubungan pribadi, baik dalam pacaran, pernikahan, maupun hubungan keluarga. Ketika salah satu pihak menghilang secara sepihak dan memblokir akses komunikasi tanpa menyelesaikan kewajiban mereka, tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum.
1. Ghosting dan Blokir dalam Hubungan Pacaran: Penipuan dan Manipulasi Finansial
Ghosting dalam hubungan pacaran yang melibatkan manipulasi finansial bisa dikategorikan sebagai penipuan menurut Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini secara spesifik mengatur tentang penipuan, dengan rumusan sebagai berikut:
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, baik dengan menggunakan nama palsu atau martabat palsu, ataupun dengan tipu muslihat, maupun dengan rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu barang kepadanya atau supaya memberi hutang ataupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun."
Sumber: