Perceraian dan Dinamika Kepercayaan dalam Pernikahan
Catatan Redaksi Anis Tiana Pottag.--
Kabar gugatan cerai yang diajukan Atalia Praratya terhadap suaminya, Ridwan Kamil, sontak menjadi perhatian publik. Nama besar, posisi publik, dan rekam jejak keluarga yang selama ini dikenal harmonis membuat kabar ini segera diselimuti berbagai spekulasi.
Media sosial bergerak cepat, netizen menafsirkan sendiri, dan potongan-potongan isu lama kembali diangkat ke permukaan seolah setiap peristiwa rumah tangga figur publik selalu harus dijelaskan ke ruang publik.
Namun di balik hiruk-pikuk itu, ada satu hal yang sering luput: perceraian, bagi siapa pun, bukanlah peristiwa ringan. Ia bukan hanya soal putusnya hubungan suami istri, tetapi juga menyangkut kepercayaan, beban emosional, dan konsekuensi hukum yang panjang.
Apalagi ketika rumah tangga tersebut berdiri di bawah sorotan publik, setiap langkah menjadi lebih berat karena dinilai bukan hanya oleh hukum, tetapi juga oleh opini.
Isu perselingkuhan yang sempat beredar di awal tahun, lengkap dengan klaim sepihak dan klarifikasi melalui proses hukum, menunjukkan satu hal penting: ketika kepercayaan dalam rumah tangga terguncang, dampaknya tidak selalu selesai bersamaan dengan klarifikasi fakta.
Ada luka yang tidak bisa diukur dengan hasil tes DNA, ada kelelahan emosional yang tidak bisa dipulihkan hanya dengan bantahan di ruang publik. Dan dalam banyak kasus, runtuhnya kepercayaan menjadi titik balik yang menentukan arah sebuah pernikahan.
Dari sisi hukum, perceraian di Indonesia tidak bisa dilakukan secara sepihak atau sembarangan. Undang-undang mengatur bahwa perceraian hanya sah jika diputus oleh pengadilan, dengan alasan-alasan tertentu yang diakui hukum.
Proses ini dimaksudkan bukan untuk mempersulit, melainkan untuk memastikan bahwa keputusan besar tersebut diambil dengan pertimbangan matang, bukan dorongan emosi sesaat.
Namun hukum juga tidak masuk ke ruang yang paling personal: bagaimana rasa aman, saling percaya, dan komitmen itu dijaga sejak awal.
Di sinilah pelajaran pentingnya perjanjian kawin sering kali baru disadari ketika masalah sudah muncul. perjanjian kawin bukan tanda ketidakpercayaan, melainkan instrumen hukum untuk memberi kejelasan, perlindungan, dan batasan yang sehat dalam rumah tanggaterutama bagi pasangan dengan risiko tinggi, baik karena aset, profesi, maupun eksposur publik.
Ketika konflik terjadi, kejelasan hukum justru bisa mencegah luka yang lebih dalam, baik secara finansial maupun emosional.
Catatan ini bukan untuk menghakimi keputusan siapa pun. Setiap rumah tangga memiliki cerita yang hanya diketahui oleh mereka yang menjalaninya.
Namun satu hal patut menjadi refleksi bersama: rumah tangga tidak hanya dibangun dengan cinta, tetapi juga dengan kepercayaan, komunikasi, dan kesiapan menghadapi risiko termasuk risiko hukum. Ketika fondasi itu rapuh, sorotan publik hanya akan mempercepat retaknya.
Pada akhirnya, perceraian figur publik seharusnya tidak menjadi bahan spekulasi tanpa batas, melainkan cermin untuk belajar.
Sumber:


