Ghosting dan Blokir: Tren Modern Menghindari Tanggung Jawab Hukum di Era Digital

Ghosting dan Blokir: Tren Modern Menghindari Tanggung Jawab Hukum di Era Digital

Founder dan CEO top Legal Anis Tiana Pottag, S.H., M.H., M.Kn., M.M. --

Pasal ini menyatakan bahwa ketika salah satu pihak gagal memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian, pihak yang dirugikan berhak untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan.

Dalam hal ini, pihak pertama dapat menuntut pihak kedua yang memutus komunikasi dan menghilang, karena tindakan tersebut menyebabkan kerugian operasional, finansial, dan reputasi perusahaan.

Blokir dalam Bisnis: Indikasi Niat Menghindari Tanggung Jawab

Tindakan blokir tidak hanya sekadar memutus komunikasi, tetapi sering kali menunjukkan niat yang disengaja untuk menghindari tanggung jawab.

Dalam bisnis, komunikasi yang terbuka sangat penting untuk menyelesaikan masalah dan memastikan bahwa kewajiban masing-masing pihak dipenuhi.

Ketika seseorang secara sengaja memblokir akses komunikasi, terutama setelah menerima tanggung jawab atau kewajiban finansial, hal ini dapat memperburuk kondisi bisnis dan mengindikasikan adanya niat untuk menghindari kewajiban.

Jika pihak yang melakukan blokir tahu bahwa ada kewajiban bisnis yang harus dipenuhi tetapi memilih untuk menghindar, tindakan ini bisa dianggap sebagai upaya untuk menghindari tanggung jawab yang telah disepakati.

Dalam banyak kasus, blokir dapat menjadi indikasi awal adanya potensi penipuan jika pihak yang memblokir tidak memiliki niat baik untuk menyelesaikan kewajiban bisnisnya.

BACA JUGA:Pernah Dengar Klien Minta Konten Dihapus? Ini Solusi Jitu untuk MUA!

Dalam beberapa situasi, ghosting dan blokir dapat meningkat menjadi tuduhan penipuan, terutama jika ada bukti bahwa pihak yang menghilang sejak awal tidak memiliki niat untuk memenuhi kewajibannya.

Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur bahwa penipuan terjadi ketika seseorang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat atau kebohongan untuk mendapatkan keuntungan dari pihak lain.

Jika pihak yang menghilang menerima modal atau aset perusahaan, tetapi kemudian memutuskan untuk pergi tanpa menyelesaikan kewajibannya, tindakan ini bisa dikategorikan sebagai penipuan.

Misalnya, jika pihak kedua dalam contoh kasus di atas menerima modal dari pihak pertama untuk operasional perusahaan, tetapi sejak awal memang tidak berniat untuk menjalankan tanggung jawabnya, hal ini bisa menjadi dasar bagi tuntutan penipuan.

Pihak yang dirugikan berhak melaporkan tindakan tersebut sebagai penipuan, dan jika terbukti ada unsur tipu muslihat, pelaku bisa dikenai hukuman pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP. Hukuman yang diatur dalam pasal ini adalah pidana penjara hingga empat tahun atau denda.

Konsekuensi Hukum Ghosting dan Blokir dalam Pembentukan Perusahaan

Sumber: