Ghosting dan Blokir: Tren Modern Menghindari Tanggung Jawab Hukum di Era Digital
Founder dan CEO top Legal Anis Tiana Pottag, S.H., M.H., M.Kn., M.M. --
Pasal 298 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengatur bahwa anak-anak wajib memberikan perawatan dan dukungan finansial kepada orang tua yang memerlukan bantuan. Jika seorang anak menghilang dan memblokir akses komunikasi dengan orang tua yang membutuhkan bantuan, tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pengabaian kewajiban keluarga.
Pasal 298 KUHPerdata berbunyi:
"Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan yang sudah dewasa, diwajibkan untuk memelihara dan merawat orang tua mereka yang dalam keadaan tak mampu."
Jika seorang anak sebelumnya telah berjanji untuk merawat orang tua mereka, tetapi kemudian memutuskan komunikasi dan menghilang, orang tua yang dirugikan berhak mengajukan gugatan untuk menuntut anak tersebut memenuhi kewajibannya.
Dalam hal ini, tindakan blokir memperkuat indikasi bahwa anak tersebut dengan sengaja mengabaikan kewajibannya, dan pengadilan dapat memutuskan agar anak tersebut memberikan nafkah atau dukungan yang diperlukan kepada orang tua.
Ghosting dan blokir dalam hubungan pribadi bukan hanya menyebabkan kerugian emosional, tetapi juga memiliki konsekuensi hukum yang signifikan, terutama jika melibatkan kewajiban finansial, tanggung jawab keluarga, atau janji yang tidak ditepati.
Dalam hubungan pacaran, ghosting dan blokir yang melibatkan manipulasi finansial dapat dianggap sebagai penipuan berdasarkan Pasal 378 KUHP. Dalam konteks pernikahan, ghosting dan blokir dapat dianggap sebagai pengabaian kewajiban nafkah atau hak asuh anak, yang diatur dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 41 UU Perkawinan.
Sementara itu, dalam hubungan keluarga, tindakan ghosting dan blokir terhadap orang tua yang membutuhkan dapat dianggap sebagai pengabaian kewajiban berdasarkan Pasal 298 KUHPerdata.
Dengan adanya ketentuan-ketentuan hukum ini, pihak yang menjadi korban ghosting dan blokir berhak untuk mengambil langkah hukum, baik melalui jalur perdata untuk menuntut hak finansial maupun melalui jalur pidana untuk menuntut pertanggungjawaban atas tindakan penipuan atau pengabaian kewajiban keluarga.
Kesimpulan
Ghosting dan blokir, meskipun terlihat sebagai cara cepat dan mudah untuk menghindari konflik atau tanggung jawab, ternyata memiliki konsekuensi hukum yang serius.
Baik dalam hubungan bisnis maupun pribadi, tindakan ini bukan hanya berdampak emosional tetapi juga berpotensi melanggar hukum.
Dalam dunia bisnis, ghosting dan blokir dapat menyebabkan tuntutan hukum berdasarkan pelanggaran itikad baik (Pasal 1338 KUHPerdata) dan wanprestasi (Pasal 1243 KUHPerdata). Bahkan, jika terbukti ada niat untuk mengambil keuntungan tanpa memenuhi kewajiban, tindakan tersebut bisa dianggap sebagai penipuan (Pasal 378 KUHP), yang berujung pada hukuman pidana.
Dalam hubungan pribadi, ghosting dan blokir juga bisa berujung pada tuntutan hukum, terutama jika melibatkan kewajiban finansial, seperti dalam pernikahan, di mana nafkah dan hak asuh anak diatur oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sumber: