Penjara Polisi Penuh, Cermin Buram Demokrasi Jalanan
--
BACA JUGA:Hitung Juga Napas Rakyat
Negara boleh menghukum mereka yang bersalah, tetapi negara juga wajib menyembuhkan luka yang melatarbelakanginya.
Kita sering lupa bahwa penjara tidak selalu mendidik. Ia bisa menjadi sekolah kebencian bila tidak disertai pembinaan.
Ia bisa melahirkan dendam yang lebih besar bila negara hanya pandai menghukum, tetapi gagal merangkul.
Maka, penegakan hukum harus diiringi dengan langkah penyembuhan: program rehabilitasi sosial, pendidikan, hingga dialog terbuka agar rakyat tahu bahwa suaranya didengar.
BACA JUGA:People Power Pati Hadang Arogansi Bupati
Negara seharusnya belajar dari jeruji yang sesak itu. Ia bukan sekadar bukti keberhasilan aparat mengendalikan kerusuhan, melainkan tanda kegagalan kita merawat dialog.
Jika suara rakyat dibiarkan terus membeku, maka jalanan akan kembali terbakar, jeruji kembali penuh, dan dendam kembali tumbuh.
Karena itu, kita harus membuka ruang bagi aspirasi, memberi pendidikan politik yang sehat, serta menyediakan panggung bagi rakyat untuk berbicara tanpa rasa takut.
Penjara polisi yang penuh bukanlah akhir cerita. Ia hanyalah cermin buram yang memaksa kita menatap wajah demokrasi sendiri.
BACA JUGA:Membaca Puing di Hari Maulid
Dari cermin itu, kita ditantang memilih: apakah kita ingin demokrasi yang menumbuhkan, atau demokrasi yang menghukum?
Demokrasi sejati bukanlah ketika rakyat bebas menjarah atau negara bebas menghukum.
Demokrasi sejati adalah ketika rakyat dan negara duduk bersama, saling mendengar, saling menjaga, dan saling menghidupi.
Kerusuhan telah menjadi noda. Namun dari noda itu, bangsa bisa belajar. Dari jeruji yang penuh, bangsa bisa merenung.
Sumber:

