Penjara Polisi Penuh, Cermin Buram Demokrasi Jalanan
--
Di negeri yang kita cintai ini, kata demokrasi sering dilafalkan dengan bibir bergetar penuh kebanggaan.
Namun, kerap kali ia hanya sebatas nyanyian dalam ruang rapat, jargon di panggung politik, atau semboyan dalam buku pelajaran. Ketika rakyat turun ke jalan, demokrasi mendadak kehilangan wajahnya yang ramah, berganti menjadi wajah garang, penuh asap, api, dan jeruji besi.

Mini Kidi--
Belum lama ini, jalanan di Surabaya dan kota-kota lain menjadi panggung kerusuhan. Pos polisi terbakar, toko dijarah, kaca kantor publik dipecahkan.
Di balik itu semua, jeritan rakyat menggema, meski suaranya kabur ditelan amarah yang membabi buta.
Polisi kemudian bergerak, menangkap ratusan orang. Kini, penjara polisi penuh.
BACA JUGA:Aksi 3 September: Rakyat Jatim Bergerak atau Gerakan Segelintir
Bukan hanya dengan mereka yang telah lama bergulat dengan dunia hitam, tetapi juga mahasiswa yang baru belajar filsafat, pekerja lepas, pedagang kecil, hingga penganggur yang mencari pengakuan dari hidup.
Penjara polisi yang kini penuh adalah cermin buram bangsa kita. Ia memantulkan pertanyaan pahit: apakah demokrasi hanya melahirkan amarah, lalu menyudutkan rakyat kecil ke balik jeruji?
Di sana, di balik dinding dingin penjara, ada wajah pemuda yang seharusnya duduk di bangku kuliah, tetapi kini duduk di lantai sel.
BACA JUGA:Dari Kursi Kehormatan ke Kursi Pesakitan
Ada tangan yang seharusnya menggenggam buku, kini meraba jeruji besi. Ada ibu yang menunggu anaknya pulang, tetapi yang pulang hanyalah kabar penahanan.
Jika jeruji itu penuh oleh anak-anak bangsa, apakah kita sedang membangun masa depan atau justru menutup pintu harapan?
Hukum memang harus tegak. Tanpa hukum, kebebasan hanyalah topeng dari kekacauan. Namun hukum yang kaku tanpa kasih hanya akan melahirkan dendam.
Sumber:



