Cinta Dibalas Dusta: Akibat Hukum Manipulasi Status Perkawinan di Balik #SelingkuhItuIndah

Sabtu 07-09-2024,20:54 WIB
Reporter : Anis Tiana Pottag, S.H., M.H.,
Editor : Eko Yudiono

1. Salah satu pihak berzina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran yang tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Perselingkuhan (perzinaan) termasuk dalam kategori alasan kuat untuk mengajukan perceraian, karena dianggap sebagai pelanggaran kepercayaan dan kewajiban sebagai suami atau istri.

Meskipun istilah "selingkuh" tidak disebutkan secara langsung dalam undang-undang, tindakan tersebut bisa diproses secara hukum sebagai perzinaan berdasarkan Pasal 284 KUHP jika melibatkan hubungan seksual antara orang yang sudah menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya. Selain itu, perselingkuhan juga bisa menjadi dasar perceraian sesuai dengan ketentuan UU Perkawinan.

Konsekuensi Hukum bagi Pelaku yang Menyembunyikan Status Perkawinan

Tindakan menyembunyikan status perkawinan, baik itu fakta telah menikah atau memiliki anak, dan memanfaatkan kebohongan tersebut untuk memperoleh keuntungan dari pihak lain, bukan hanya pelanggaran moral tetapi juga melanggar hukum di Indonesia. Pelaku yang dengan sengaja melakukan kebohongan demi keuntungan pribadi, seperti finansial atau emosional, dapat dianggap melakukan tindak pidana penipuan. Berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), penipuan ini memiliki implikasi hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana terhadap pelaku.

1. Akibat Hukum Bagi Pihak yang Melakukan Kebohongan (Pelaku)

Pelaku yang dengan sengaja menyembunyikan status perkawinannya atau memiliki anak, kemudian memanfaatkan kebohongan tersebut untuk mendapatkan keuntungan finansial atau dukungan emosional dari korban, dapat dikategorikan sebagai pelaku penipuan. Di Indonesia, tindakan semacam ini diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penipuan dalam konteks ini melibatkan kebohongan yang disengaja untuk menipu orang lain dan mendapatkan keuntungan yang tidak sah.

A. Penipuan (Pasal 378 KUHP)

Pasal 378 KUHP menyatakan bahwa siapa pun yang menggunakan kebohongan atau tipu muslihat untuk menggerakkan orang lain menyerahkan sesuatu kepadanya, diancam dengan pidana penjara maksimal empat tahun. Dalam kasus kebohongan mengenai status perkawinan, pelaku yang menyembunyikan fakta bahwa mereka telah menikah atau memiliki anak untuk memperoleh uang, barang, atau dukungan emosional dari korban dapat dikenakan ancaman pidana.

Elemen penting dari penipuan ini meliputi:

1. Niat untuk Menipu (Mens Rea):

Kategori :