Cinta Dibalas Dusta: Akibat Hukum Manipulasi Status Perkawinan di Balik #SelingkuhItuIndah

Sabtu 07-09-2024,20:54 WIB
Reporter : Anis Tiana Pottag, S.H., M.H.,
Editor : Eko Yudiono

Pelaku secara sadar dan sengaja menyembunyikan status perkawinannya atau keberadaan anaknya untuk menipu korban dan mendapatkan keuntungan.

2. Tipu Muslihat atau Kebohongan:

Pelaku menciptakan gambaran palsu tentang dirinya, seperti mengaku lajang atau tidak memiliki anak, untuk mempengaruhi keputusan korban.

3. Korban Memberikan Sesuatu:

Korban yang percaya pada kebohongan tersebut mungkin memberikan sesuatu, baik uang, barang, atau dukungan emosional, kepada pelaku tanpa mengetahui bahwa hubungan tersebut didasarkan pada kebohongan.

4. Keuntungan yang Diperoleh Secara Tidak Sah:

Pelaku memperoleh keuntungan dari kebohongan tersebut, baik dalam bentuk uang, barang, maupun dukungan emosional yang diberikan korban.

Jika terbukti bersalah, pelaku dapat dihukum penjara hingga empat tahun karena menggunakan kebohongan untuk mengeksploitasi korban.

B. Pemalsuan Dokumen (Pasal 263 KUHP)

Kebohongan ini dapat semakin serius jika pelaku menggunakan dokumen palsu, seperti KTP atau akta cerai palsu, untuk memperkuat kebohongan tentang status perkawinannya. Pasal 263 KUHP mengatur tentang pemalsuan dokumen, dan siapa pun yang membuat atau menggunakan dokumen palsu dengan niat untuk menipu dapat dikenakan hukuman hingga enam tahun penjara.

Jika pelaku menggunakan dokumen palsu seperti KTP yang menunjukkan status "lajang" untuk memperkuat kebohongannya, tindakan ini menunjukkan niat jahat yang lebih dalam, memperparah kebohongan tersebut, dan meningkatkan konsekuensi hukum yang dihadapi.

2. Akibat Hukum Bagi Pihak yang Dibohongi (Korban)

Korban yang tertipu oleh kebohongan status perkawinan sering kali mengalami kerugian emosional dan finansial yang signifikan. Namun, dampak hukumnya dapat bervariasi tergantung pada apakah korban sudah terlanjur menikah dengan pelaku atau belum, meskipun keduanya tetap dilindungi oleh hukum.

A. Pembatalan Perkawinan (Pasal 24 UU Perkawinan)

Jika korban telah terlanjur menikah dengan pelaku yang menyembunyikan status perkawinannya, korban memiliki hak untuk mengajukan pembatalan pernikahan berdasarkan Pasal 24 UU Perkawinan. Jika pernikahan tersebut didasarkan pada kebohongan, pengadilan berhak menyatakan pernikahan tersebut tidak sah dan membatalkannya.

Pembatalan pernikahan memberikan korban perlindungan dari kewajiban hukum yang mungkin timbul dari hubungan pernikahan yang tidak jujur. Misalnya, korban tidak perlu menanggung tanggung jawab finansial atau kewajiban lainnya yang biasanya muncul dalam pernikahan yang sah.

Kategori :