Pelabuhan dan Angka yang Senyap
Agus Supriyadi--
Di dermaga, di mana air bertemu daratan, terdapat kesibukan abadi. Ia adalah teater pertukaran, tempat kotak-kotak kargo menjadi metafora hasrat dan surplus. Kita mengenalnya sebagai Pelabuhan.
Dan, belakangan, ia kembali didera kabar yang tak asing: tentang selisih, tentang angka-angka yang bergetar sebelum akhirnya meledak menjadi kasus—korupsi.
196 miliar—sebuah bilangan yang, dalam keheningan arsip, mungkin hanyalah deretan nol yang mati.
Namun, dalam kenyataan, ia adalah denyut nadi yang dicuri, diserap senyap-senyap dari pekerjaan yang paling fundamental: pemeliharaan. Pemeliharaan kolam.
BACA JUGA:Delapan Dekade Harapan
BACA JUGA:Sebuah Negeri di Atas Kertas
Betapa ironisnya: menjaga agar kapal tetap dapat berlabuh, agar air tetap dalam dan jalannya lancar, justru menjadi pintu air bagi kebocoran.
Seorang penyair pernah berujar, segala yang cair akan menemukan jalannya. Uang, sebagai zat cair peradaban, rupanya tak terkecuali. Ia tak mengenal moral, hanya gravitasi—selalu tertarik ke titik terendah, ke saku yang paling mudah dijangkau.
Dalam perkara Pelindo ini, yang kita saksikan adalah drama lama: bagaimana sebuah institusi vital, yang seharusnya menjadi urat nadi perdagangan, justru tersumbat oleh kerakusan yang begitu mekanis.
Jaksa yang menggeledah, tentu, mencari dokumen. Mereka mencari jejak-jejak formal dari pengkhianatan yang sangat formal. Tapi, apa yang sesungguhnya mereka cari?
Mereka mencari di mana letak kebijaksanaan itu menguap. Korupsi bukanlah sekadar pencurian uang kas, ia adalah hilangnya iman pada konsep res publica, urusan bersama. Dalam kasus yang melibatkan pemeliharaan kolam, kita dapat melihatnya sebagai kegagalan metaforis: kegagalan membersihkan lumpur yang seharusnya dibersihkan, dan sebaliknya, membiarkan lumpur itu menumpuk dalam bentuk keuntungan pribadi.
BACA JUGA:Dulu Sekutu, Kini Seteru
BACA JUGA:Kejatuhan di Ujung Gawai
Surabaya, kota dagang yang pernah menjadi saksi heroisme "Merdeka atau Mati," kini menyaksikan pertempuran yang lebih senyap, yang lebih banal: pertempuran melawan diri sendiri. Melawan godaan angka besar yang ditawarkan oleh proyek-proyek infrastruktur.
196 miliar.
Angka itu, pada akhirnya, adalah cermin yang memantulkan bukan hanya wajah para terduga, melainkan juga wajah kita sendiri: betapa mudahnya kita membiarkan institusi publik, yang harusnya bekerja demi kelancaran bersama, menjadi wadah bagi mimpi basah segelintir orang.
Kapal-kapal tetap datang dan pergi, kolam tetap berair. Tapi, di bawah permukaan, ada retakan yang semakin dalam. Retakan kepercayaan. Dan itu, jauh lebih mahal dari sekadar seratus sembilan puluh enam miliar.
Kita menunggu kelanjutan ceritanya, apakah angka itu akan kembali ke tempatnya, atau hanya menjadi bagian lain dari kisah abadi tentang air yang tumpah dan tak terambil kembali.
Sumber:



