Dulu Sekutu, Kini Seteru
--
Pada sebuah sudut jalan, terpasang baliho besar. Dua wajah tersenyum, seakan persaudaraan itu tak lekang oleh waktu. Slogan di bawahnya: "Satu Hati, Membangun Negeri."
Mereka, sepasang kepala daerah dan wakilnya, tampak seperti janji yang utuh. Sebuah monumen keyakinan. Tapi, kita tahu, monumen itu seringkali dibangun di atas pondasi yang rapuh.
Beberapa bulan kemudian, monumen itu runtuh. Poster di baliho itu terasa seperti lelucon. Satu pihak menuding yang lain, dan sebaliknya. Janji satu hati kini pecah menjadi serpihan. Ini bukan sekadar drama politik, ini adalah fenomena yang berulang, bagai kaset lama yang diputar kembali.
Data menunjukkan, 95% pasangan kepala daerah pecah kongsi. Sebuah angka yang tak main-main, bahkan nyaris absurd. Tapi, di negeri ini, yang absurd seringkali terasa paling nyata.
BACA JUGA:Rumor Kapolri
BACA JUGA:Kejatuhan di Ujung Gawai
Lantas, apa yang salah? Apakah sistemnya, atau orang-orangnya?
Sistem yang Mengizinkan Kesalahan
Sistem Pilkada kita, dengan segala niat baiknya, adalah sebuah arena yang didesain untuk kolaborasi yang canggung. Ia memaksa dua orang—kadang dari partai yang berbeda, dengan agenda yang tak sama, dan dengan ambisi yang berlainan—untuk menikah dalam sebuah persekutuan politik yang rapuh. Mereka dipersatukan bukan oleh visi yang sama, melainkan oleh perhitungan elektoral.
Sang kepala daerah, misalnya, mencari wakil yang bisa menambal kekurangannya: mungkin ia butuh dukungan dari etnis tertentu, atau dari kelompok agama yang kuat, atau dari partai yang punya basis massa besar. Sang wakil, di sisi lain, melihat kesempatan: sebuah batu loncatan menuju kekuasaan yang lebih tinggi di masa depan. Mereka bersepakat, bukan karena cinta pada rakyat, tapi karena pragmatisme politik.
Dan, seperti sebuah perkawinan tanpa cinta, hubungan itu mudah retak. Ketika kekuasaan sudah di tangan, motif-motif asli mulai muncul ke permukaan. Si kepala daerah ingin menguasai, si wakil ingin dilibatkan.
BACA JUGA:Hilang Makna
BACA JUGA:Naik Lagi?
Mereka berebut "kue" kekuasaan: proyek, posisi strategis, hingga pengaruh. Konstitusi dan undang-undang mengatur tugas mereka, tapi ia tak pernah bisa mengatur nafsu. Tak ada yang salah dengan ambisi, tentu, tapi ketika ambisi itu menggerogoti kerja sama, ia menjadi penyakit.
Sistem ini, dengan cara yang ironis, menciptakan perpecahan. Ia menempatkan dua orang di satu perahu, tapi dengan dayung yang mengarah ke arah berbeda. Seolah ada sebuah cacat bawaan dalam genetik Pilkada kita: ia tak punya mekanisme untuk memastikan harmoni. Ia hanya punya mekanisme untuk memenangkan, bukan untuk memimpin.
Siapa yang Paling Dirugikan?
Dalam drama ini, para politikus mungkin kehilangan jabatan atau kehormatan. Tapi, yang paling dirugikan adalah mereka yang berdiri di barisan paling bawah: rakyat.
Masyarakat memilih sebuah janji. Sebuah janji untuk pembangunan, untuk pelayanan publik yang lebih baik, untuk kesejahteraan. Ketika kepala daerah dan wakilnya bertengkar, janji itu mandek. Roda birokrasi melambat. Proyek-proyek terhambat. Kebijakan-kebijakan penting tertunda, kadang bahkan dibatalkan.
Mereka, si kepala daerah dan wakilnya, mungkin sibuk dengan intrik dan perebutan pengaruh. Mereka mungkin bersembunyi di balik tudingan-tudingan, menari di atas panggung drama yang mereka ciptakan sendiri. Sementara itu, jalan yang dijanjikan tak kunjung diperbaiki, pelayanan kesehatan tak kunjung membaik, dan anak-anak tetap tak punya sekolah yang layak.
BACA JUGA:Jalan Pintas PBB
Perpecahan ini bukan hanya soal urusan pribadi para elit. Ini adalah pengkhianatan terhadap amanah. Ketika mereka sibuk dengan pertengkaran mereka, mereka lupa bahwa ada jutaan mata yang menatap, jutaan harapan yang digantungkan. Mereka yang paling dirugikan adalah mereka yang tak punya daya untuk ikut dalam pertempuran itu. Mereka hanya bisa menunggu, dan melihat janji-janji itu menguap, seperti asap rokok di senja hari.
Maka, setiap kali kita melihat baliho yang runtuh, kita tak hanya melihat pecahnya sebuah kongsi politik. Kita melihat hancurnya harapan. Dan itu, dalam politik, adalah kerugian yang paling mahal.
Sumber:



