umrah expo

Naik Lagi?

Naik Lagi?

--

Rencana pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan secara bertahap mulai tahun 2026, yang telah mendapatkan restu dari Presiden Prabowo, bukanlah isu baru.

Ini adalah pengulangan dari sebuah debat yang tak pernah usai: bagaimana menyeimbangkan keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan daya beli masyarakat?

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, kenaikan iuran ini esensial untuk menjaga "sustainability" atau keberlanjutan keuangan JKN. Data menunjukkan bahwa belanja kesehatan di Indonesia terus meningkat, bahkan melampaui pertumbuhan PDB. Jika iuran tidak disesuaikan, BPJS Kesehatan berisiko mengalami defisit.  

BACA JUGA:Jalan Pintas PBB

BACA JUGA:Maaf, Jalan Ditutup

BACA JUGA:Beras

Hal ini dapat berdampak pada kualitas pelayanan dan penunggakan pembayaran ke rumah sakit. Pemerintah berdalih, kenaikan ini adalah langkah mitigasi untuk memastikan BPJS tetap dapat melayani masyarakat secara optimal.

Namun, di balik narasi "keberlanjutan" ini, muncul pertanyaan mendasar. Apakah kenaikan iuran adalah satu-satunya solusi?

Bagi sebagian masyarakat, kenaikan iuran, sekecil apa pun, adalah beban. Terutama bagi peserta mandiri dan masyarakat di lapisan ekonomi bawah yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Mereka melihat kebijakan ini sebagai "pukulan" di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.

Kenaikan ini juga berisiko memicu konflik dan hilangnya kepercayaan masyarakat jika tidak diimbangi dengan perbaikan layanan yang signifikan.

Masalah BPJS Kesehatan bukan hanya soal iuran, melainkan juga tata kelola. Apakah defisit itu murni karena iuran yang rendah, atau karena inefisiensi, kebocoran, atau bahkan korupsi di dalam sistem?

Jika persoalannya ada pada manajemen, menaikkan iuran hanya akan menjadi "tambal sulam" yang tidak menyentuh akar masalah.

Ini adalah sebuah dilema klasik. Pemerintah berhadapan dengan kebutuhan finansial program, sementara rakyat berhadapan dengan realitas ekonomi yang sulit.

Kenaikan iuran, bagaimanapun, adalah sebuah jalan pintas.

Ia memindahkan beban finansial dari negara ke pundak rakyat, tanpa ada jaminan bahwa masalah mendasar akan terselesaikan. Jika layanan tidak membaik, jika antrean panjang tetap ada, jika ketersediaan obat masih terbatas, maka kenaikan iuran ini hanyalah "pil pahit" yang tiada gunanya. 

Ini bukan hanya soal angka dan persentase, tapi soal keadilan dan kepercayaan.

Bagaimana kita bisa percaya, jika setiap krisis, jawabannya selalu sama: bebani rakyat? Sebuah pertanyaan yang, tampaknya, harus kita renungkan bersama.

Sumber: