umrah expo

Sebuah Negeri di Atas Kertas

Sebuah Negeri di Atas Kertas

Agus Supriyadi--

Ada negeri yang sesungguhnya tak ada, kecuali di atas kertas usang bernama Eigendom Verponding. Ia adalah hantu birokrasi, warisan kolonial yang kini bangkit merongrong kedamaian sebuah kota. 

Surabaya, kota yang katanya maju, tiba-tiba dihadapkan pada realitas absurd: ratusan hektare tanah yang telah puluhan tahun ditempati, diklaim oleh raksasa negara, PT Pertamina, berdasarkan selembar dokumen kuno.

Sengketa ini, jujur saja, adalah sebuah fabel tragis. Di Kecamatan Dukuh Pakis, tepatnya Kelurahan Dukuh Pakis, warga yang telah beranak pinak, yang sudah memegang Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Hak Guna Bangunan (HGB), mendadak tercekik. 

BACA JUGA:Dulu Sekutu, Kini Seteru

Bukan oleh tengkulak, bukan oleh bencana, melainkan oleh notifikasi dingin dari Badan Pertanahan Nasional (BPN): tanah Anda terkait dengan Eigendom Verponding (E.V.) No. 1278 milik Pertamina.

Eigendom Verponding, secara sederhana, adalah hak milik ala Belanda. Ia adalah bahasa mati yang seharusnya sudah dikubur dalam-dalam setelah proklamasi. 

Tapi, seperti arwah penasaran, ia kembali menuntut hak atas tanah seluas 220,4 hektare—luasan yang oleh Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, disebut bisa "sak kelurahan entek iki" (satu kelurahan habis ini). 

Ungkapan ini, meski terkesan kasar, adalah cermin keterkejutan kolektif dan kemarahan yang jujur. Bagaimana mungkin klaim seluas itu, yang mencakup permukiman padat dan kawasan yang dikembangkan secara sah, tiba-tiba mencuat?

Logika Kertas vs. Realitas Pijakan

Ketua RT setempat, Gunawan Njotowidjojo, menceritakan bagaimana masalah ini terungkap baru setahun belakangan, gara-gara urusan jual-beli dan perpanjangan HGB. Warga yang taat hukum, yang membayar pajak, yang punya legalitas dari negara sendiri, kini tak bisa mengurus haknya. Mereka ditolak BPN, yang kini menangguhkan seluruh permohonan pendaftaran hak atas permintaan Pertamina.

BACA JUGA:Rumor Kapolri

Kepala Kantor Pertanahan Surabaya I, Budi Hartanto, menjelaskan bahwa tanah itu mulanya hak milik kolonial atas nama NV. De Bataafsche Petroleum Maatschappij, kemudian dialihkan ke Shell, dan akhirnya diambil alih Pemerintah RI, ditunjuklah Pertamina sebagai pelaksana. Semua terdengar rapi, administratif, dan tanpa cacat di atas meja.

Namun, di sinilah letak ironi terbesar. Pertamina, yang melakukan inventarisasi dan rekonstruksi batas secara mandiri, sadar betul bahwa lahan yang mereka klaim telah menjadi kawasan padat penduduk. 

Mereka meminta penangguhan proses pendaftaran BPN untuk "memitigasi potensi sengketa lanjutan." Sebuah kalimat yang dingin, hampir-hampir sinis, dari korporasi yang seharusnya melayani publik, bukan mengancamnya.

Wakil Wali Kota Armuji benar: Pertamina jangan cuma surat-menyurat ke BPN. Mereka harus turun ke lapangan, lihat kondisi riilnya.

Klaim 220 hektare ini bukan hanya soal angka dan batas administrasi; ini soal jiwa warga. Ini soal rumah yang mereka bangun dengan keringat, soal masa depan yang kini digantung oleh selembar kertas tua. 

Logika korporasi dan birokrasi, yang mengandalkan warisan kolonial, tidak boleh serta-merta mengeliminasi logika kemanusiaan dan fakta di lapangan.

BACA JUGA:Kejatuhan di Ujung Gawai

Pengembang membeli tanah dengan uang. Warga membangun rumah dengan izin. Semua proses ini terjadi di bawah pengawasan negara. Jika kini Pertamina datang dengan Eigendom Verponding, lantas di mana negara selama puluhan tahun ini? 

Mengapa sertifikat SHM dan HGB bisa diterbitkan jika tanah itu sejatinya milik Pertamina? 
Apakah negara telah menerbitkan legalitas palsu?

Pertamina perlu mengambil langkah yang objektif dan rasional. Rasionalitas tertinggi bukan hanya mencari untung atau mengamankan aset, melainkan memastikan keadilan bagi rakyat yang telah lama menempati tanah. Keberadaan warga, yang sudah berdekade hidup dengan keyakinan memiliki legalitas sah, harus menjadi pertimbangan utama.

Sengketa ini adalah ujian bagi pemerintah pusat dan daerah. Apakah kita akan membiarkan warga digusur atau digantung statusnya oleh "hantu" dari masa lalu yang dibawa oleh perusahaan negara? 

BACA JUGA:Hilang Makna

Atau, apakah kita akan menegaskan bahwa hukum agraria yang berlaku hari ini, yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak, jauh lebih kuat dan lebih bermartabat daripada selembar kertas kolonial?

Harapan warga, sederhana: bisa cepat selesai, ada kejelasan dan bisa selesai dengan baik. Penyelesaian yang baik, dalam konteks ini, berarti meletakkan martabat warga di atas kepentingan administrasi dan korporasi, sekalipun korporasi itu bernama Pertamina.

Sumber:

Berita Terkait