Gerakan Risma Selamanya, Buruk bagi Pendidikan  Demokrasi

Jumat 29-11-2019,07:40 WIB
Reporter : Syaifuddin
Editor : Syaifuddin

Surabaya, memorandum.co.id - Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Dhimam Abror menilai persaingan pada Pilwali Surabaya 2020 bakal sengit. Apalagi, saat ini sejumlah nama yang digadang-gadang mulai muncul ke permukaan. Abror menyebut ada nama Whisnu Sakti Buana, Zahrul Azhar As'ad atau akrab dipanggil Gus Hans, serta nama Kepala Bappeko Eri Cahyadi. Tidak hanya itu, mantan jurnalis ini juga menyinggung adanya  perang panas anatara Khofifah Indar Parawansa vs Tri Rismaharini. "Ekspektasi orang sangat karena mengharapkan figur baru nanti tidak kalah dari Risma. Jadi siapa pun yang muncul selalu berusaha bahwa saya the next Risma,"ujar dia, Kamis (29/1). Bahkan, lanjut Abror, saat ini sudah ada yang mengklaim the next Risma. "Ini penerus Risma, sudah banyak yang saling mengklaim begitu," ungkap Abror. Meski masih banyak nama Risma yang beredar, Abror mengaku memiliki perspektif tersendiri. "Setiap masa itu ada orangnya, dan setiap orang ada masanya. Era Risma itu kita hormati, kita anggap sebagai orang yang bagus dalam membangun Surabaya. Tapi di era berikutnya sudah berbeda lagi. Tidak harus dibutuhkan seorang Risma karena tantangannya beda," jelas Abror yang juga tokoh pers Jatim ini. Ditanya tentang Risma efek tersebut, Abror mengakui memang itu ada. Tapi Abror menyebutnya pisau bermata dua bagi calon wali kota yang misalnya secara sengaja ingin memanfaatkan Risma efek.   "Ya, mengkin dia akan dapat simpati karena mendapat dukungan. Tapi  pisau bermata dua tadi bisa negatif kalau dia dianggap bonekanya Risma dan belum tentu didukung," ungkap  Abror yang punya hobi bermain sepak bola ini. Apalagi, Abror citra Wali Kota Risma mulai tercederai saat ini. "Risma pernah sensi karena dikritik soal mafia perizinan yang diduga melibatkan anak kandung dan pejabat pemkot yang menjadi anak emasnya. Risma mati-matian membantahnya. Serangan terbuka itu tetap mencederai citra Risma,"tandas Abror. Lebih jauh, dia menuturkan, jika saat ini juga terjadi perang panas antara Khofifah vs Risma, Dua wanita paling berpengaruh di Jatim itu sama-sama tidak mau kalah angin.Perseteruan ini kian membuat Surabaya tambah gerah. Soal adanya gerakan Risma Selamanya di Surabaya, Dhimam menilai itu bukan gerakan murni. "Kamu sekarang bisa bikin fakta itu. Arek 10 suruh teriak di Bungkul, Risma...Risma...Risma, terus kamu foto sendiri. Kalau saya bilangnya dalam ilmu politik atau dalam ilmu komunikasi itu kan konstruksi," jelas Abror. Adanya gerakan Risma Selamanya ini, tegas Abror, buruk bagi pendidikan demokrasi. "Tidak ada orang itu selamanya. Tiap orang punya masa, tiap masa punya orang. Sepuluh tahun yang lalu oke Risma, tapi kalau selamanya apakah bisa? Sekarang tantangannya beda. Tahun 2020, kita sudah MEA, Masyarakat Ekonomi ASEAN,"tutur Abror. (dhi/lis)

Tags :
Kategori :

Terkait