Dari Kursi Kehormatan ke Kursi Pesakitan

Sabtu 23-08-2025,07:07 WIB
Reporter : Aris Setyoadji
Editor : Aris Setyoadji

Proses perizinan dan sertifikasi yang masih bergantung pada tatap muka membuka ruang negosiasi yang gelap.

Digitalisasi layanan menjadi kebutuhan mendesak agar setiap langkah terekam, transparan, dan bisa diawasi publik.

Kedua, pengawasan internal pemerintah harus diperkuat. Aparat pengawas internal kementerian tidak boleh hanya menjadi "stempel", tetapi benar-benar menjadi benteng yang aktif mendeteksi dan mencegah penyimpangan, tanpa itu, kasus-kasus seperti ini akan terus berulang.

BACA JUGA:Kekacauan Kreativitas

Ketiga, peran masyarakat sipil dan media harus terus dirawat, karena kasus-kasus besar yang terbongkar sering kali berawal dari laporan masyarakat atau sorotan media.

Ketika suara publik diredam atau dianggap remeh, maka pintu gelap korupsi akan makin terbuka lebar.

Di sisi lain, kita patut memberi apresiasi kepada KPK yang kembali menunjukkan taringnya.

Meski sering digempur dengan isu pelemahan, kasus ini membuktikan bahwa lembaga antirasuah masih mampu menjerat pejabat tinggi.

BACA JUGA:Cincin Tunangan Kekasih Ronaldo Seharga 162 Paket Sound Horeg

Harapan publik kini bertumpu pada proses hukum yang adil dan transparan.

Yang paling penting, kita harus kembali menegaskan bahwa perlindungan pekerja tidak boleh menjadi arena permainan uang.

Pekerja membutuhkan jaminan nyata, bukan sekadar tanda tangan berbayar, dan pekerja membutuhkan kebijakan yang berpihak, bukan pejabat yang berpura-pura peduli.

BACA JUGA:Royalti oh Royalti…

Kasus Immanuel Ebenezer harus menjadi alarm keras, bahwa di balik kursi empuk dan gelar pejabat, selalu ada godaan untuk tergelincir.

Dari kursi kehormatan ke kursi pesakitan, jaraknya ternyata sangat tipis, dan hanya integritas yang bisa menjaga agar kursi itu tidak berubah menjadi jeruji.

Pada akhirnya, publik berharap kasus ini bukan sekadar catatan hitam baru dalam buku panjang korupsi Indonesia.

Kategori :