Kekacauan Kreativitas

Kekacauan Kreativitas

Ilustrasi AI--

Ini catatan tentang kekacauan. Sebuah negeri yang tanahnya subur, seperti kata orang-orang. Setiap hari, ada saja yang tumbuh: melodi dari kafe seberang, kode-kode yang membangun dunia digital, juga imajinasi yang bergerak dalam sekuens film animasi. Tapi entah mengapa, setelah semua benih itu disemai, tak ada yang mengurusnya dengan benar. Tak ada pagar, tak ada petunjuk yang jelas. Hingga yang kita dapati bukan ladang yang teratur, melainkan semak belukar yang saling tumpang tindih. Ini bukan kekayaan yang terkelola, melainkan kekacauan kreativitas.

 

Kekacauan itu tampak di mana-mana. Salah satu yang paling kasat mata adalah soal royalti. Sebuah janji yang tak selalu ditepati, hak yang terdampar di antara meja-meja birokrasi, dan uang yang kadang jumlahnya tak lebih dari harga secangkir kopi atau sebungkus rokok.

 

Pemerintah, dengan niat baik, mencoba menyederhanakan segalanya. Diciptakanlah sistem satu pintu, dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai penjaganya. Tujuannya, agar semua teratur. Tapi ironinya, keteraturan yang dicari itu justru menciptakan simpul-simpul yang tak terurai. Tarif yang dibuat tetap, seolah musik adalah barang mati, bukan denyut yang mengalir. Kopi dinilai per kursi, diskotik per meter persegi. Popularitas sebuah lagu, atau seberapa sering ia diputar, tak ada bedanya. Musisi, bahkan sekelas Armand Maulana, mengeluhkan potongan 20% yang terasa terlalu besar. Uang yang terkumpul ratusan miliar, bisa menyusut menjadi Rp60.000 saja di tangan penciptanya. Sebuah lelucon yang kurang lucu.

 

Kekacauan itu tidak hanya soal uang. Ia juga soal tata kelola. Gegeran royalti, bisik-bisik soal film animasi "Merah Putih: One for All" yang kini jadi kasak-kusuk, adalah pertanda. Keduanya, kita tahu, bukan persoalan yang berdiri sendiri. Mereka adalah ujung dari gunung es yang jauh lebih besar.

 

Di bawah permukaan, ada persoalan kronis: kekacauan pengelolaan kreativitas itu sendiri. Semua ingin untung, dan ingin untung dengan cepat. Pencipta yang ingin segera diakui, agen yang berburu komisi, produser dan label yang ingin uang kembali secepatnya. Tak ada yang bersedia, atau mungkin tak sempat, menoleh jauh ke depan. Tak ada yang berpikir tentang sebuah ekosistem yang bisa menopang keberlanjutan. Sebuah ladang yang tak hanya bisa dipanen sekali, tapi bisa terus tumbuh dari musim ke musim.

 

Dan kemudian, ada lagi satu tradisi yang menambah runyam: pentahbisan oleh pemerintah. Semacam stempel, cap resmi, yang kita jadikan ukuran. Seolah kreativitas itu belum absah jika belum diakui oleh lembaga-lembaga negara. Padahal, seringkali, kreativitas itu lahir jauh di luar tembok-tembok birokrasi.

 

Di Amerika sana, ekosistemnya berbeda. Bukan satu pintu, melainkan sebuah hutan belantara yang terfragmentasi, dipenuhi banyak organisasi swasta yang saling bersaing. Mereka punya model yang responsif, yang terus beradaptasi seiring zaman. Tapi seperti hutan belantara, ia juga punya kerumitan. Basis data yang terpisah-pisah membuat miliaran dolar royalti hilang, tak menemukan tuannya. Keadilan, ternyata, punya banyak wajah.

 

Sumber: