BACA JUGA:Awas, Fenomena Self Harm di Kalangan Pelajar Mulai Marak
Kata Nur jika harus menyekolahkan anaknya di sekolah khusus, ia harus pergi ke Kota Probolinggo atau ke Kraksaan. Butuh waktu 40 menit bahkan satu jam lebih dari rumahnya.
Nur pun berharap, pemerintah bisa melihat kondisinya dan anaknya itu. "Bagi saya yang penting bagaimana anak saya sekolah itu saja. Yang penting bisa baca dan tulis, sudah itu saja," katanya.
Eko Apriono, wali kelas IS menyampaikan, pihak sekolah membantu pertolongan pertama saat kejadian. "Anaknya memang emosinya tidak terkontrol, tapi dia menyakiti dirinya sendiri. Biasanya menjambak rambutnya, merobek bukunya," katanya.
IS disebut bisa membaca dan menulis, namun tidak selancar teman-temannya. "Kata Kepala Sekolah kami awalnya, pihak sekolah menolak bersekolah di sini. Namun karena keluarga kekeh agar anaknya bisa membaca dan menulis,kami menerima. Ya dengan perlakuan seperti anak pada umumnya, karena kami, jujur tidak memiliki guru yang fokus atau ahli dalam hal atau program inklusi itu tadi, " jelasnya.
Sementara itu, Kades Ngepung Muhid menyampaikan tidak ada penganiayaan yang terjadi pada IS. Kabar yang viral itu tidak dibenarkannya. "Anak ini memang berkebutuhan khusus," ucapnya.
Saat ditanya soal program inklusi, Muhid menjelaskan dahulu pernah ada sekolah inklusi. Hanya saja berubah menjadi sekolah umum sebab tidak ada murid yang bersekolah. "Langkah desa ya akan mengusahakan pendampingan ahli pada ananda ya. Memang butuh pendampingan mental," tuturnya. (ekh)