Antara Bisnis dan Prestasi: Membaca Arah Persebaya

Antara Bisnis dan Prestasi: Membaca Arah Persebaya

Catatan Redaksi Anis Tiana Pottag.--

Unggahan resmi Persebaya yang menyebut “hanya mikir bisnis”, “pelatihmu endi”, hingga “klub besar hanya dijadikan ladang bisnis saja” bukan sekadar konten media sosial.

Di mata suporter, narasi semacam ini dibaca sebagai representasi sikap klub. Bukan hanya soal gaya komunikasi, tetapi tentang bagaimana klub memosisikan diri di tengah situasi performa yang belum stabil.

Dalam dunia pemasaran digital, pendekatan satir dan sarkas memang dikenal sebagai salah satu strategi untuk menciptakan viralitas. Strategi ini lazim dipakai oleh brand komersial, terutama untuk audiens muda.

Namun sepak bola memiliki karakter yang berbeda. Klub bukan sekadar brand, dan suporter bukan sekadar customer. Hubungan keduanya dibangun di atas emosi, sejarah, dan harapan terhadap prestasi.

Masalah utama dari konten tersebut bukan semata karena ia sarkastik, melainkan karena pesan yang sampai ke publik terasa timpang. Narasi bisnis, pelatih, dan pemain dikedepankan, tetapi kata “prestasi” nyaris absen.

BACA JUGA:Dua Gol David Neres Antar Napoli Juara Piala Super Italia


Mini Kidi--

Padahal, bagi suporter, prestasi adalah fondasi utama yang membenarkan segala bentuk bisnis di sepak bola. Tiket, merchandise, sponsor, hingga engagement digital pada akhirnya bermuara pada satu hal: performa tim di lapangan.

Dalam beberapa musim terakhir, Persebaya menunjukkan pola yang patut dicermati. Pergantian pelatih terjadi berulang kali, filosofi permainan berubah-ubah, dan proses pembangunan tim sering terputus di tengah jalan.

Kualitas pemain pun menjadi sorotan bukan semata karena individu, tetapi karena tidak adanya kesinambungan sistem. Dalam situasi seperti ini, komunikasi publik seharusnya menenangkan, menjelaskan arah, dan membangun kepercayaan, bukan justru memantik kesan defensif atau reaktif.

Fenomena ini mengingatkan pada contoh klasik di sepak bola modern: Chelsea pada era Roman Abramovich. Klub tersebut kaya, ambisius, dan sarat trofi, tetapi juga dikenal sebagai “kuburan pelatih”.

Mourinho, Ancelotti, Di Matteo, Conte bahkan pelatih yang membawa gelar bisa tersingkir dalam waktu singkat. Chelsea menang, tetapi sering kehilangan stabilitas dan identitas jangka panjang.

Perbandingan ini bukan untuk menyamakan posisi, melainkan sebagai pelajaran bahwa instanisme baik dalam keputusan teknis maupun narasi publik selalu memiliki harga.

Ketika klub besar terjebak dalam logika jangka pendek, yang tergerus bukan hanya pelatih atau pemain, melainkan kepercayaan. Suporter mulai merasa dilihat sebagai objek bisnis, bukan bagian dari perjalanan prestasi.

Sumber: