Korupsi Dana Hibah, Pola Berulang Ada Persoalan Sistemik dalam Pengganggaran di Legislatif
Pengamat Politik Singgih Manggalou--
SURABAYA, MEMORANDUM.CO.ID - Kasus dugaan korupsi di lingkungan DPRD berbagai wilayah di Jawa Timur kembali mencuat dan menunjukkan pola yang berulang. Dari Surabaya, Kota Malang, hingga DPRD tingkat provinsi, penyalahgunaan dana publik seperti hibah, Jasmas, dan aspirasi masyarakat terus terjadi.
BACA JUGA:Skandal Korupsi Dana Hibah KONI Kediri, PH Ari Wibowo : Jalankan Perintah Atasan

Mini Kidi--
Pengamat politik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jatim, Singgih Manggalou, menyebut fenomena ini menunjukkan adanya persoalan sistemik dalam mekanisme penganggaran di legislatif. Namun, Singgih Manggalou menegaskan bahwa keterlibatan eksekutif tidak bisa digeneralisasi dalam semua kasus.
“Dalam beberapa kasus besar memang hanya anggota DPRD yang dijerat, sementara pihak eksekutif tidak terbukti terlibat secara langsung,” kata Singgih Manggalou, Kamis, 10 Juli 2025.
Lanjut Singgih Manggalou, itu berarti korupsi bisa terjadi secara mandiri di tubuh legislatif. “Tanpa harus melibatkan kepala daerah atau OPD,” kata Singgih.
BACA JUGA:MAKI Jatim Pasang Badan, Pastikan Khofifah Tak Terlibat Korupsi Dana Hibah 2021-2022
Menurut pengajar UPN ini, bahwa besarnya kuasa anggaran yang dimiliki legislatif seperti dalam program hibah atau pokok-pokok pikiran (pokir) menciptakan celah korupsi tersendiri. “Terlebih jika pengawasan dari publik maupun internal DPRD tidak berjalan maksimal,” urainya.
Menurutnya, selama dana publik bisa diarahkan tanpa transparansi dan tidak ada kontrol yang ketat. “Maka peluang penyimpangan itu tetap besar. Dan celah ini paling banyak dimanfaatkan oleh oknum-oknum anggota dewan,” ujarnya.
Singgih menyebut bahwa akar dari masalah ini salah satunya adalah mahalnya biaya politik dalam pemilu legislatif. Legislator merasa perlu ‘mengembalikan modal politik’ setelah terpilih, dan celah pengelolaan pokir menjadi sasaran empuk.
BACA JUGA:Kepala PKBM Salafiyah Kejayan Dituntut 7,5 Tahun Penjara Kasus Korupsi Dana Hibah Pendidikan
Menurutnya, pola seperti ‘titip proyek’ dengan modus mark up anggaran hingga penggunaan yayasan fiktif menjadi taktik yang sering dipakai untuk menyamarkan gratifikasi. “Praktik ini tumbuh dari ongkos pileg yang tidak masuk akal. Karena itu saya kira penting untuk mengkaji ulang sistem pileg kita agar menggunakan sistem proporsional tertutup,” tegasnya.
Menurutnya, sistem proporsional terbuka saat ini memicu kompetisi antar caleg dalam satu partai yang justru mendorong praktik transaksional. Hal ini berdampak pada mentalitas anggota legislatif yang lebih fokus pada pengembalian biaya politik dibanding fungsi pengawasan.
“Kalau sistemnya tetap seperti sekarang, kita hanya akan mencetak wakil rakyat yang berpikir soal pengembalian modal, bukan kepentingan publik,” tambah Singgih.
Sumber:



