umrah expo

Anak Jadi Korban: Saat Ego Orang Tua Mengalahkan Logika (1)

Anak Jadi Korban: Saat Ego Orang Tua Mengalahkan Logika (1)

--

KENAPA kalian gak pernah bisa ngobrol tanpa teriak?”

Pertanyaan sederhana itu keluar dari mulut kecil Dira, putri semata wayang usia 10 tahun. Ia berdiri di ambang pintu kamar sambil memeluk bonekanya, matanya sembab, dan wajahnya penuh bingung antara takut, marah, dan kecewa.

Bulan dan Bintang terdiam sejenak. Pertengkaran yang semula membakar ruang keluarga tiba-tiba dibungkam suara anak mereka. Teriakan tentang uang bulanan, soal jam kerja Bintang yang makin malam, dan tentang Bulan yang dianggap terlalu menuntut, semuanya tiba-tiba terasa memalukan.

Tapi seperti biasa, diam mereka hanya sebentar. Setelah Dira masuk kamar dan menutup pintu, mereka kembali saling menyalahkan.

“Lihat, kamu bikin anak kita trauma!” bentak Bulan.

“Aku? Kamu yang selalu nyulut emosi duluan!” balas Bintang.

Dira menuliskan semuanya dalam buku hariannya malam itu.

“Hari ini papa mama berantem lagi. Aku pura-pura tidur padahal dengar semua. Aku kangen papa yang dulu suka ajak aku makan es krim. Aku juga kangen mama yang dulu selalu bacain aku dongeng. Sekarang, mereka cuma saling marah. Aku capek. Aku pengen mereka pisah aja, tapi aku takut jadi anak yang ‘gak lengkap’ seperti kata temanku.”

Mereka Sibuk Menang, Bukan Membangun

Masalah rumah tangga Bintang dan Bulan bukan tentang siapa yang salah, tapi tentang siapa yang paling ingin menang. Ego yang lebih tinggi dari empati. Setiap kali salah satu mencoba bicara baik-baik, yang lain justru memotong. Bukan komunikasi yang terjadi, tapi kompetisi.

Bintang merasa sebagai pencari nafkah utama, dia berhak dihormati. Bulan merasa sudah mengorbankan karier demi rumah tangga, dia pantas dimengerti. Sama-sama ingin dipahami, tapi tak mau memahami.

Hingga akhirnya mereka sepakat pisah rumah sementara. Tapi tetap belum cerai. Alasannya?

“Demi anak.”

Namun ironisnya, keputusan itu justru memperburuk keadaan. Dira semakin bingung. Ia tak tahu harus tinggal dengan siapa. Di sekolah ia mulai murung. Prestasinya turun. Ia lebih sering menggambar rumah yang retak di kertas gambar.

Sumber: