Catatan Bersama Dahlan Iskan ke Tanah Suci (3) - Baiat Pertama

Catatan Bersama Dahlan Iskan ke Tanah Suci (3) - Baiat Pertama

Suasana bagian dalam Saqifah Bani Saidah tahun 2022 silam, saat itu jemaah masih diperbolehkan masuk--Kemenag

Oleh : Choirul Shodiq

Jamaah umrah Memorandum, minggu lalu oleh Travel Bakkah, diinapkan di Hotel Andalus Darussalam.

Tempat menginap yang relatif dekat dengan Masjid Nabawi, Madinah.  Jaraknya sekitar 100 meter lewat pintu pagar nomor 310.

Di depan hotel, ada dua titik sejarah, rumah sahabat Nabi, Abu Bakar, dan Ali bin Abi Thalib. Keduanya sekarang diwujutkan dalam bentuk bangunan masjid.

Ada masjid Abu Bakar, dan Masjid Ali bin Abi Tholib, menantu baginda Nabi Muhammad.

Jamaah sering melihat beberapa masjid di kawasan itu. Termasuk Masjid Ghamamah, yang akan saya tulis tersendiri dalam catatan berikutnya.

Masjid Abu Bakar, sering dibuka di siang hari. Sesekali ada jamaah yang shalat di dalamnya.

Juga ada yang hanya melihat lihat bagian dalam masjid. Mereka tidak boleh berlama lama, karena harus bergantian.

Dari dua rumah tokoh Islam itulah, munculnya sejarah prosesi setelah Nabi wafat. Ada multi tafsir, yang menyebut mereka berbeda pendapat.

Begitu Nabi Muhammad wafat, ada pertemuan penting di teras rumah milik tokoh asli Madinah, yang bernama Sa'ad bin Ubadah.

Teras ini dulunya jadi tempat berkumpul tokoh-tokoh dari suku tuan rumah Ansor. Tapi sejak Nabi Muhammad pindah ke Madinah (dari Makkah) tempat berkumpulnya pindah ke rumah Nabi.

Begitu ada kabar Nabi wafat, tokoh-tokoh asli Madinah kumpul kembali di teras rumah Sa'ad. Mereka membicarakan siapa yang pantas, dan layak menggantikan pemimpin masyarakat.

Sa'ad sendiri, sebagai tuan rumah, lagi sakit. Agak berat. Mestinya suaranya sangat ditunggu. Maka Sa'ad mewakilkan ke anaknya untuk berbicara.

Kesimpulannya : pemimpin baru nantinya harus dari suku Madinah asli.

Tokoh seperti Sa'ad, khawatir pemimpin baru nanti dari kaum pendatang.

Alasannya ? Yang paling berjasa atas Islam adalah orang Madinah.

Islam berkembang dari rumah Nabi di Madinah.

Para tokoh mengemukakan pendapat tentang bagaimana setelah Nabi wafat. Termasuk tokoh pendatang seperti Abu Bakar dan Umar.

Mereka saling adu pendapat.

Saling mengusukan nama yang pantas menggantikan pemimpin umat Islam. Baik dari pendatang maupun tokoh asli Madinah.

Ada satu tokoh penting yang tidak hadir saat itu, Ali bin Abi Thalib.

Ali, adalah suami Fatimah, yang berarti menantu Nabi Muhammad SAW.

Saat itu Ali, lebih memilih berada di rumah Nabi Muhammad. Karena mengurus kematian mertuanya itu.

 

Sementara di perhelatan di teras itu, banyak yang menyebut nama Umar pantas jadi pemimpin baru. Tentu banyak juga yang tidak setuju.

 


Pemimpin Redaksi memorandumhajiumrah.com Agus Supriyadi saat berada di dalam Masjid Abu Bakar--

Setelah bertele-tele, akhirnya Umar berdiri. Ia menggapai Abu Bakar.

 

Ia menyatakan bai'at pada Abu Bakar. Ia angkat Abu Bakar sebagai pemimpin barunya.

 

Melihat apa yang dilakukan Umar, yang lain pun ikut bai'at. Jadilah Abu Bakar, tergolong paling tua saat itu, sebagai khalifah pertama.

 

Tentunya ada yang khawatir. Bagaimana kalau Ali tidak setuju, jika Abu Bakar sebagai pemimpin baru.

 

Bahkan banyak yang berpendapat Ali-lah yang sebenarnya lebih berhak jadi pemimpin baru. Nabi sendiri mengakui kehebatan Ali, dan itu banyak diketahui oleh masyarakat.

 

Maka dicarilah Ali, agar mau ke teras itu untuk berbai'at pada Abu Bakar.

 

Ketika ada yang berhasil menemuinya, Ali pun menjawab: apakah jenazah Nabi dibiarkan tidak ada yang mengurus?

 

Dari situ, banyak tafsir atas ucapan Ali saat itu. Sebagian tafsir menilai Ali tidak mau mengakui kepemimpinan Abu Bakar. Ada yang menafsirkan Ali merasa dirinya lebih berhak memimpin.

 

Banyak juga yang menilai Abu Bakar terpilih, hanya karena Ali tidak hadir di teras itu. Seandainya ada Ali di sana keadaan bisa berbeda.

 

Namun Ali dianggap masih terlalu muda saat itu.

 

Tanpa pengakuan dari Ali, legitimasi Abu Bakar kurang kuat. Maka ada upaya untuk memaksa Ali berbai'at ke Abu Bakar.

 

Ali tetap tidak mau. Sampai pun rumah Fatimah dikepung.

Sumber: