Harga Pangan Melonjak, YLPK Jatim: Dampak Inflasi Ekonomi Hijau

Harga Pangan Melonjak, YLPK Jatim: Dampak Inflasi Ekonomi Hijau

M Said Sutomo.--

SURABAYA, MEMORANDUM - M Said Sutomo, ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur menyampaikan, melambungnya harga beras akibat efek dari inflasi ekonomi hijau (green inflation). Yakni, dampak dari transisi energi menuju energi nol persen emisi karbon yang ditargetkan pada tahun 2060.

Menurut Said, akibat transisi tersebut dampaknya berujung pada naiknya harga pangan. Sebab, semua peralatan rumah tangga dan kebutuhan energi untuk transportasi berubah. Semula energi berbasis fosil (batu bara dan BBM), kini perlahan mulai beralih ke energi terbarukan non fosil (selain batu bara dan BBM).

"Makanya dalam proses transisi energi ini harus ada perubahan perilaku masyarakat konsumen bahwa kebutuhan energi listrik yang selama ini hanya untuk kebutuhan konsumtif harus bisa mengubah dirinya menjadi kebutuhan produktif, terutama dengan mengembangkan ekonomi mikro di tiap-tiap rumah tangganya," kata Said dihubungi, Minggu, 18 Februari 2024.

Said menambahkan, kegiatan transaksi dalam kehidupan sehari-hari yang biasanya dilakukan secara konvensional atau offline harus diubah dengan melakukan transaksi secara online atau perdagangan sistem elektronik (PSE). Sehingga kebutuhan energi fosil bisa dikurangi atau nol.

BACA JUGA:Beli LPG Pakai KTP dan KK Sengsarakan Masyarakat, Ketua YLPK: Kayak Zaman Kuno

'Proses ini yang kita kenal adalah mewujudkan ekonomi digital di samping mengikuti proses transisi energi yang sedang berlangsung," tandasnya.

Saat ini, topik inflasi ramah lingkungan (green inflation) merupakan topik yang hangat dan menarik. Karena kenaikan harga energi telah menyebabkan gejolak sosial dan masalah ekonomi. Hal ini pun turut diamini YLPK Jatim

Said mengungkapkan, green inflationn sering mengacu pada inflasi yang terkait dengan kebijakan publik dan swasta yang diterapkan sebagai bagian dari transisi hijau.

"Pada dasarnya, green inflation sendiri merupakan istilah yang menggambarkan naiknya harga barang-barang ramah lingkungan akibat tingginya permintaan terhadap bahan bakunya. Akan tetapi pasokannya tak mencukupi. Sehingga terjadi inflasi imbas dari transisi energi itu," terang dia. 

BACA JUGA:Tarif Parkir Liar Cekik Wisatawan, YLPK Jatim: Laporkan ke Polisi

Untuk mengantisipasi masalah ini, YLPK Jatim mendorong pemerintah untuk menyeimbangkan antara suplai dan deman barang atau jasa yang beredar di pasar dengan kebutuhkan konsumsi masyarakat. Sehingga kenaikan harga tidak mencekik masyarakat konsumen.

Terutama peredaran barang atau jasa publik seperti harga TDL 450-1300 kWh kebutuhan energi listrik, gas LPG untuk kebutuhan rakyat miskin, jasa kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya.

Selain itu, YLPK Jatim mendesak negara harus mealisasikan pasal 40 ayat (1) UU ITE yang mengamanahkan pemerintah untuk memfasilitasi masyarakat dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik. 

"Dengan begitu, kesapakatan G20 Bali tahun lalu bahwa Indonesia siap menerapkan ekonomi digital dan transisi energi sama-sama jalan. Ibarat pepatah sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui, negara-negara lain, terutama negara-negara Asean," pungkas Said. (bin)

Sumber: