Bareskrim Polri Usut Sindikat Mafia Tanah Surabaya
Jakarta, memorandum.co.id – Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri tengah mengusut kasus mafia tanah di Surabaya, Jawa Timur. Terkini, Bareskrim telah meningkatkan status penanganan kasus tersebut ke tahap penyidikan dan segera menetapkan tersangka. Penyidik tengah mengumpulkan bukti-bukti kegiatan sindikat mafia tanah tersebut. Di antaranya, kasus-kasus pemalsuan keterangan dan pemalsuan surat maupun penggunaan dokumen yang dipalsukan oleh komplotan mafia tanah. "Masih dalam proses penyidikan dan pengumpulan alat bukti," kata Kasubdit II Dittipidum Bareskrim Polri, Kombes Muslimin saat dihubungi melalui telepon seluler. Tim penyidik telah mengantongi unsur pidana yang ditandai dengan naiknya kasus tersebut dari tahap penyelidikan ke penyidikan. Penetapan tersangka tinggal menunggu minimal dua alat bukti. “Ditemukan adanya peristiwa dugaan tindak pidana,” demikian isi pemberitahuan pihak Bareskrim Polri kepada Wahyu Widiatmoko SH yang mengadukan kasus itu, “Sehingga dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan.” Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri mengusut sindikat mafia tanah di Surabaya sejak akhir Maret 2022 dan telah dilakukan gelar perkara pada September 2022. Namun, selama dua bulan sejak gelar perkara belum ada perkembangan signifikan. “Silakan hubungi Kasubdit yang menangani. Saya sudah pindah tugas,” kata mantan Direktur Tindak Pidana Umum (Tipidum) Brigjen (Pol) Andi Rian yang kini menjabat Kapolda Kalimantan Selatan ketika ditanya akhir November lalu. Bareskrim Polri menggelar perkara kasus ini pada akhir September 2022 yang dipimpin oleh Anjak Dittipidum Bareskrim Polri, Brigjen Yoyon Tony Surya Putra. Hasilnya, ditemukan tindak pidana pembuatan dan penggunaan dokumen yang diduga palsu oleh sindikat mafia tanah dari Surabaya itu. Kasus ini dilaporkan oleh Wahyu Widiatmoko, mewakili korban. Laporan teregistrasi dengan nomor: LB/B/0146/III/2022/SPKT/Bareskrim Polri, tanggal 25 Maret 2022. Terlapor berinisial MH dan kawan-kawan. Diduga, MH melakukan pemalsuan surat atau menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta autentik. MH dkk diduga sejak tahun 2016 menggunakan keterangan dan dokumen palsu guna mengakali jalannya persidangan gugatan tanah. Keterangan palsu tersebut mengakibatkan MH dan kawan-kawan memenangkan perkara sengketa pertanahan di pengadilan. Setidaknya, MH dan kawan-kawan diduga telah mengambil lahan seluas 10 hektare di kawasan Darmo Permai, Surabaya. Dalam gelar perkara akhir September 2022 yang dipimpin Brigjen (Pol) Yoyon Tony Surya Putra, ditemukan adanya tindak pidana pembuatan dan penggunaan dokumen yang diduga palsu oleh sindikat pidana dari Surabaya itu. Bisa Dibongkar Dr Ir Albert Kuhon MS SH yang mewakili korban memuji semangat dan kerja keras Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri dalam membongkar kasus mafia tanah. “Jika diniati secara serius dan diusut secara tekun, pasti gerombolan mafia tanah bisa dibongkar sampai ke akar-akarnya,” katanya akhir November 2022 di Jakarta. Kuhon menjelaskan, kasus sindikat mafia tanah yang ditangani Bareskrim Polri itu antara lain menyangkut lahan milik kliennya yang terletak di Jalan Puncak Permai di Surabaya. Urutan ceritanya berbelit-belit dan melibatkan banyak pihak. “Pengaduannya mengenai penggunaan keterangan palsu dan dokumen yang dipalsukan. Yang mengakibatkan pihak yang diduga mafia tanah memenangkan sejumlah perkara di persidangan,” ujar Kuhon. Tersendat Kuhon menuturkan, sebetulnya kasus itu sudah lama diadukan, tetapi tersendat karena pengaruh sindikat mafia tanah tersebut. Kejadiannya berlangsung sejak tahun 2016 dan melibatkan banyak pihak. Ulah sindikat itu mengakibatkan sejumlah warga di Jalan Puncak Permai Surabaya mengalami kerugian tidak kecil. Sejak akhir Maret 2022, pihak Bareskrim Polri melakukan penyelidikan mengenai kegiatan sindikat mafia tanah di Surabaya. Di antaranya, kasus-kasus pemalsuan keterangan dan pemalsuan surat maupun penggunaan dokumen yang dipalsukan oleh komplotan mafia tanah. “Sindikat mafia tanah ini sangat lihai dan pelaku utamanya tampil seolah-olah sebagai rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa. Padahal dia sangat piawai dalam beberapa perkara pertanahan di Jawa Timur,” tutur Kuhon. Advokat yang mantan wartawan senior itu mengelak merinci lebih jauh siapa saja yang terlibat dalam sindikat itu. “Saya bukan pihak yang berkompeten menjelaskannya. Silakan ditanyakan kepada pihak Bareskrim,” katanya ketika ditanya wartawan. Lahan di Surabaya Kasus tersebut melibatkan beberapa bidang tanah yang dijual oleh PT Darmo Permai (developer perumahan pertama di Indonesia) kepada konsumennya. Sekitar awal Agustus 1981 pengembang itu membebaskan 90,3 hektar lahan di Surabaya Barat dan mengurus sertifikatnya atas nama PT Darmo Permai dengan objek berupa lahan seluas 903.640 meter persegi. Hamparan lahan yang dibebaskan PT Darmo Permai tersebut, berada di beberapa kelurahan (sebagian termasuk di Kelurahan Lontar dan Kelurahan Pradahkalikendal), disatukan dalam sertfikat induk yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kota Surabaya I atas nama PT Darmo Permai. Seluruhnya dituangkan dalam sertifikat induk Sertifikat Hak Guna Bangunan no.79/Pradahkalikendal. “Karena kebetulan sebagian lahan terletak dalam wilayah Kelurahan Pradahkalikendal,” tutur advokat itu. “Klien saya pertengahan tahun 1995 membeli lahan dari PT Darmo Permai,” tutur Kuhon lebih lanjut. Sebagai pembeli yang beritikad baik, klien tersebut mendapatkan Sertifikat Hak Guna Bangunan yang merupakan pecahan dari sertifikat induk SHGB No.79/Pradahkalikendal yang semula atas nama PT Darmo Permai.”Wajarlah jika pada sertifikat pecahan itu masih dicantumkan lokasi ‘Pradahkalikendal’ sebagaimana dikutip dari sertifikat induknya yakni SHGB No.79/Pradahkalikendal,” ujar Kuhon. Pecahan SHGB tersebut diperpanjang pada tahun 2002 dan berganti buku menjadi SHGB yang berlaku sampai tahun 2022, namun tetap menyebutkan seolah-olah lokasinya di ‘Pradahkalikendal’ sebagaimana yang disebutkan pada induk sertifikat. Pada perpanjangan kedua di awal tahun 2022, nama ‘Pradahkalikendal’ pada pecahan SHGB itu diubah oleh pihak BPN Surbaya I menjadi ‘Lontar’ (kata Pradahkalikendal dicoret dan diganti dengan Lontar). “Karena disesuaikan dengan lokasi sebetulnya, yakni di Kelurahan Lontar. Hal ini bisa dikonfirmasikan kepada pihak Kantor Pertanahan Surabaya I,” kata Kuhon lebih jauh. Mafia Tanah Advokat itu menuturkan, ada kelompok yang diduga mafia tanah yang memanfaatkan pencantuman ‘Pradahkalikendal’ pada pecahan SHGB. Lalu sindikat mafia tanah itu memproses dokumen dan keterangan palsu, kemudian mengajukan gugatan di pengadilan. Pihak mafia tanah itu mempermasalahkan lokasi lahan milik klien Kuhon, yang menurut mereka semestinya di Kelurahan Pradahkalikendal sebagaimana disebutkan dalam pecahan SHGB. “Padahal, penyebutan ‘Pradahkalikendal’ hanya diambil dari sertifikat induk, dan lokasi yang betul adalah di Kelurahan Lontar. Itu sebabnya Kantor Pertanahan kemudian memperbaiki lokasi yang disebutkan di pecahan SHGB,” kata Kuhon. Celakanya, majelis hakim di pengadilan negeri hanya memeriksa dokumen dan tidak menelusuri keabsahan dokumen maupun keterangan yang diajukan oleh pihak yang diduga mafia tanah selaku penggugat. “Entah bagaimana proses peradilannya, yang jelas pihakyang diduga mafia tanah itu tahun 2021 memenangkan kasus perdatanya di Pengadilan Negeri Surabaya,” ujar Kuhon. Korban lainnya Kuhon mengungkapkan juga, pihak yang diduga mafia tanah yang sama pada tahun 2021 juga mengajukan gugatan terhadap Yayasan Cahaya Harapan Hidup Sejahtera (CHHS). Yayasan itu sudah memiliki dan menguasai lahan seluas ± 3.150 m persegi selama sekitar 25-30 tahun. Dengan dokumen dan keterangan yang sama, melalui persidangan singkat (13 April-11 Mei 2021), pihak yang diduga mafia tanah itu dinyatakan sebagai pemilik yang sah atas objek sengketa Petok D No. 14345 Persil 186 klas d.II. Persidangannya dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai oleh Hakim Itong Isnaeni Hidayat dan panitera pengganti Hamdan yang belakangan tertangkap basah menerima suap dalam kasus yang lain. “Tetapi putusan PN Surabaya itu, sudah mengakibatkan pihak yayasan kehilangan haknya dan harus membayar ganti rugi sebesar Rp1 miliar kepada pihak yang diduga sebagai kelompok mafia tanah,” ujar Kuhon. Pengungkapan kejahatan terorganisasi seperti yang dilakukan oleh pihak mafia tanah, memang bukan hal yang mudah dilakukan. “Karenanya kita harus acungi jempol kemampuan Bareskrim Polri membongkar kasus ini,” kata Kuhon.(yy/gus)
Sumber: