Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (17)

Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (17)

Pelukan Laila Melongar dan Melonggar, Kemudian Plas… Lepas

Pendekar Ghadi dan Putri Laila kaget bukan alang kepalang. Mata mereka penuh selidik menatap sosok di punggung Bledek. Sekali lagi kuda pintar itu mengangkat  kaki depan dan meringkik. Keras. “Siapa Kisanak?” tanya Laila. Tubuh di punggung Bledek bergerak. Berguncang-guncang seperti gesture orang tergelak. Namun, kali ini tanpa suara. Ghadi dan Laila semakin penasaran. “Itu kudaku,” kata Laila. Kembali tubuh sosok itu berguncang. Lebih keras dan lebih lama. Kini terdengar suara. Lirih karena ditahan. “Kembalikan dulu kudaku,” kata sosok di balik pakaian serbahitam, disambung tawa. Suaranya serak dan agak tersengal. Suara yang amat dikenal Ghadi dan Laila. “Emak?” kata pasutri itu hampir bersamaan. “Ke mana saja Emak? Kok rumahnya berantakan,” imbuh Laila. Emak tidak segera menjawab. Dia turun dari kuda dan mencari tempat duduk di antara reruntuhan. “Tidak berapa lama setelah kalian pergi tempo hari, rumah dan warung Emak diobrak-abrik prajurit dari kerajaan Putri (ayah Laila, red),” katanya mulai bercerita. Para prajurit itu mencari keberadaan Putri Laila dan pemuda yang menculiknya. Mereka bertanya kepada Emak dan dijawab tidak tahu. Para prajurit tidak percaya, terutama pemimpinnya. Dia yakin dua buruannya pernah singgah di warung Emak. Katanya jejak bau para buron itu masih tercium jelas. Emak begeming. Prajurit marah dan membumihanguskan rumah dan warung. “Dim-diam saya menyelinap menuju kandang Bledek dan kabur. Kami sembunyi tidak jauh dari sini. Di sebuah goa yang selama ini jadi tempat pertapaanku,” kata Emak. “Emak seorang pertapa toh?” tanya Ghadi setengah tidak percaya. “Alhamdulillah Ndoro. Sebenarnya bukan bertapa, tapi ber-taffakur. Nggentur laku batin. Maklum sudah tua,” kata Emak, yang mengaku mendengar perang akhir zaman sudah mulai merebak di seluruh penjuru. Karena itu dia ingin bergabung dengan para mujahid. “Emak tidak takut?” sela Laila. “Emak sudah tidak punya rasa takut Ndoro. Rasa takut Emak tinggal secuil, yang sengaja Emak sisakan untuk Gusti Allah.” Ghadi dan Laila tertawa bersamaan.   Ketiganya kemudian naik ke punggung Bledek. Setelah semua duduk seperti orang naik motor, Ghadi merapal doa melipat bumi. Angin dingin pun menerpa disertai embusan angin yang sangat kencang. Tidak seperti biasa, Ghadi merasakan embusan angin itu jauh-jauh lebih deras dan berputar tanpa arah. Ghadi seperi diaduk-aduk di dalam molen. Pelukan Laila di perutnya melongar dan melonggar. Ketika Ghadi hendak menggemnggamnya… slap… pelukan tadi justru terlepas. Angin masih berembus. Sangat kencang. Perutnya mual. Tanpa bisa dicegah, isi perut Ghadi tersembur. Badannya lemas. Jepitan kaki di tubuh Bledek melemah  dan lepas. Ghadi terlempar. Kesadarannya separuh hilang. Nyaris pingsan. Dalam kondisi trans, Ghadi melihat beribu, berjuta, dan bermiliar peristiwa tertayang jelas di depan mata. Peristiwa-peristiwa tersebut terangkai menjadi sekeping memori. Menyatu dengan dirinya. Menjadi catatan sejarah seorang Pendekar Ghadi. Beberapa peristiwa yang tidak bisa dilupakan Ghadi, antara lain, ketika dia melihat dua pemuda bertengkar hebat. “Kita harus menolak perintah Ayah, itu tidak adil,” kata satu di antara pemuda itu. “Tidak Qabil. Kita harus patuh. Apa pun perintah Ayah. Itu wahyu dari Allah.” “Tidak. Pokoknya aku tidak sejutu, Habil. Aku tidak mau. Aku lebih berhak nikah dengan Iqlimiya. Ia saudara kembarku,” kata pemuda yang disapa Qabil. Pemuda yang disebut bernama Habil bersikukuh dengan keputusan ayahnya untuk menikah dengan Iqlimiya. Qabil harus menikah dengan Layudha, saudara kembar Habil. “Kita harus menikah dengan saudara silang kita,” imbuhnya. (bersambung)   Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih

Sumber: