DJP Jatim III Lakukan Penegakan Hukum: 2 Perkara Diajukan ke PN
--
MALANG, MEMORANDUM - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jatim III melakukan tindakan tegas terhadap wajib pajak (WP) yang tidak memenuhi kewajiban sesuai ketentuan perpajakan. Dalam kurun waktu bulan April-Mei 2024, ada dua perkara yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang.
Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kantor Wilayah DJP Jatim III Vincentius Sukamto menyampaikan dengan diputuskannya wajib pajak bersalah di pengadilan diharapkan dapat memberikan deterrent effect (efek jera) kepada wajib pajak lain.
BACA JUGA:DPC PDI-P Usulkan Empat Nama Calon Ketua DPRD Ngawi
“Sehingga akan dapat meminimalisir terjadinya tindak pidana perpajakan selanjutnya,” terangnya, Rabu 29 Mei 2024.
Dijelaskan, sistem perpajakan yang dianut Indonesia adalah sistem self assessment yang berarti bahwa wajib pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan, menghitung jumlah pajak, dan melaporkan kewajiban pajaknya secara mandiri.
Namun demikian, masih terdapat pajib pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pajaknya dengan benar, termasuk melakukan tindak pidana perpajakan. Terhadap wajib pajak yang melakukan tindak pidana perpajakan, sesuai kewenangannya, DJP melakukan upaya penegakan hukum, termasuk mengajukan ke pengadilan.
BACA JUGA:Dipecat Timnas Jerman, Hansi Flick Direkrut Barcelona
Dalam keterangan tertulis DJP Jatim III, menyebutkan perkara pertama yaitu majelis hakim PN Kepanjen menjatuhkan vonis terhadap S, tersangka tindak pidana perpajakan dengan hukuman penjara selama 2 tahun, serta total denda Rp 647.156.844, pada Rabu 24 April 2024.
Vonis tersebut ditetapkan setelah S terbukti melanggar pasal 39 ayat (1) huruf c atau pasal 39 ayat (1) huruf d atau pasal 39 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
BACA JUGA:Sengketa MK Selesai, KPU Kota Malang Tetapkan Hasil Pileg
S merupakan Direktur CV RPT yang usahanya bergerak di bidang pembuatan alat pengangkat dan pemindah (conveyor). Awalnya, S melalui CV RPT telah mengerjakan pesanan dari PT AIO, PT JAI, dan PT IJS berupa conveyor, tray mekanik, rak sub assy naik-turun, dan lain-lain.
Atas pesanan tersebut, CV RPT telah menerbitkan faktur pajak dan telah dikreditkan oleh lawan transaksi tersebut. Artinya, atas transaksi dari berbagai pemesanan tersebut telah dilakukan pelunasan termasuk pajak pertambahan nilai (PPN) dari pihak konsumen.
Namun, S melalui CV RPT dengan sengaja tidak melakukan pembayaran atau penyetoran atas PPN yang telah dipungut. Selain itu, ia juga tidak melaporkan surat pemberitahuan (SPT) Masa PPN atau tidak memasukkan faktur pajak yang telah diterbitkan pada SPT Masa PPN yang telah dilaporkan pada kantor pelayanan pajak (KPP).
BACA JUGA:Terangsang, Pria di Surabaya Pamer Kelamin ke Wanita
Perbuatan S ini menimbulkan kerugian pada pendapatan negara Rp 241.793.483 untuk masa pajak Februari, Mei, dan Agustus Tahun 2018, masa pajak Maret, April, dan Juni Tahun 2019, masa pajak Februari, serta masa pajak Mei Tahun 2020.
Selain itu, S juga merugikan negara Rp 81.784.984 untuk masa pajak Oktober Tahun 2018 dan masa pajak September Tahun 2020. Sehingga, total kerugian pada pendapatan negara yang dilakukan oleh S mencapai Rp 323.578.422.
“Dengan adanya kegiatan penegakan hukum terhadap terdakwa S, hal ini diharapkan dapat menimbulkan deterrence effect (efek gentar) terhadap wajib pajak lainnya, untuk tidak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan,” ujar Kepala Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan (P2IP) Agus Mulyono.
Sedangakn perkara kedua, PN Blitar menjatuhkan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara pada EP, pelaku tindak pidana di bidang perpajakan. EP juga wajib membayar denda Rp 1.806.452.440. Putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka di PN Blitar oleh Ari Kurniawan sebagai hakim ketua, Senin 6 Mei 2024.
EP terbukti melakukan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana tercantum dalam pasal 39 ayat (1) huruf a atau pasal 39 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Kasus bermula saat EP selaku pemilik pabrik rokok “SPT” melakukan penebusan pita cukai hasil tembakau (CK1) pada bulan Januari 2016-April 2016. Akumulasi nilai harga jual eceran (HJE) atas penebusan CK1 tersebut senilai 19 miliar rupiah. Nilai tersebut telah melampaui batasan pengusaha kecil, yaitu senilai 4,8 miliar rupiah, sehingga seharusnya EP melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.
Namun, EP tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. Hal ini membuat penebusan pita cukai pada masa Mei tahun 2016 dan seterusnya yang seharusnya telah terutang pajak pertambahan nilai (PPN) tidak dibayarkan oleh EP. Perbuatan EP tersebut mengakibatkan kerugian pada pendapatan negara sebesar Rp 920.012.200.
Sebelum ini, EP juga telah dijatuhi hukuman pidana penjara atas perbuatan turut serta dalam kasus tindak pidana perpajakan yang melibatkan pabrik rokok lainnya. EP terbukti sebagai pihak yang membantu, menganjurkan, atau yang membantu terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan bersama tersangka CA selaku pemilik Pabrik Rokok “JR”.
BACA JUGA:Bupati Ngawi Tegaskan Tak Perlu Perda Larangan Jebakan Tikus Listrik
Atas perbuatan tersebut, terdakwa EP dijatuhi hukuman sesuai putusan kasasi tanggal 26 Juli tahun 2023 berupa pidana penjara selama 2 (dua) tahun, dengan kewajiban pembayaran utang pokok pajak sejumlah Rp 1.636.452.330 serta denda sebanyak 1 (satu) kali utang pokok pajak yaitu sejumlah Rp 1.636.452.330. Sehingga, jumlah total denda yang harus dibayarkan EP sejumlah Rp 3.272.904.660.
“Kasus ini menjadi peringatan bagi wajib pajak untuk mematuhi dan tertib dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Perlu diingat bahwa DJP selalu mengedepankan asas ultimum remedium, yaitu pemidanaan sebagai upaya terakhir penegakan hukum perpajakan,” ujar Kepala Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan (P2IP) Agus Mulyono. (*)
Sumber: