Alarm Bahaya Akibat Bullying yang Tak Terselesaikan
Catatan Redaksi Eko Yudiono.--
Tragedi ledakan yang terjadi di Masjid SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara, menjadi peringatan keras bagi dunia pendidikan Indonesia.
Sedikitnya 54 orang dilaporkan terluka akibat bom rakitan yang meledak pada Jumat (8/11). Berdasarkan hasil penyelidikan sementara, pelaku diduga merupakan korban perundungan (bullying) di sekolah tersebut.
Peristiwa memilukan ini memicu keprihatinan publik. Ledakan yang bersumber dari bom rakitan berisi paku dan benda tajam itu melukai puluhan siswa dan guru.
Polisi bersama Densus 88 Antiteror langsung turun tangan mengamankan lokasi serta menyelidiki motif di balik aksi berbahaya tersebut.
Namun di balik tragedi itu, satu hal yang patut menjadi perhatian utama adalah fenomena bullying di lingkungan sekolah.
BACA JUGA:Korupsi Adalah Adat
BACA JUGA:Nasib Olahraga Tak Populer

Mini Kidi--
Bullying adalah tindakan menyakiti, merendahkan, atau mengintimidasi orang lain secara sengaja dan berulang-ulang. Bentuknya bisa berupa kekerasan fisik, verbal, sosial, hingga cyberbullying.
Dampaknya tidak hanya melukai secara fisik, tetapi juga meninggalkan trauma psikologis mendalam.
Menurut psikolog klinis anak dan remaja, Seto Mulyadi (Kak Seto), kasus seperti ini menggambarkan betapa seriusnya efek bullying terhadap kesehatan mental korban.
“Anak yang terus-menerus dirundung akan mengalami tekanan luar biasa. Jika tidak mendapat dukungan emosional dan penanganan yang tepat, mereka bisa mengekspresikan rasa sakitnya dalam bentuk agresi atau tindakan ekstrem,” ujar Kak Seto.
Hal senada disampaikan psikolog sosial Prof. Sarlito Wirawan Sarwono (almarhum) dalam bukunya tentang perilaku remaja.
Ia menegaskan bahwa bullying yang dibiarkan tanpa penanganan bisa menimbulkan perasaan dendam, marah, dan kehilangan empati terhadap lingkungan sosialnya.
Kasus di SMAN 72 Kelapa Gading menjadi peringatan penting bagi dunia pendidikan. Tanpa pengawasan ketat dan sistem pelaporan yang aman, perundungan di sekolah dapat berulang kapan saja.
Sekolah perlu membangun lingkungan belajar yang aman dan inklusif, serta memastikan siswa memiliki akses konseling dan ruang komunikasi terbuka.
Selain itu, guru dan orang tua juga harus peka terhadap tanda-tanda perubahan perilaku anak, seperti menarik diri, mudah marah, atau menunjukkan kecemasan berlebihan.
“Bullying bukan sekadar masalah individu, tetapi kegagalan sistem sosial kita melindungi anak-anak,” kata psikolog Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, yang menekankan pentingnya deteksi dini dan dukungan psikologis sejak awal.
Kasus bom rakitan di SMAN 72 menjadi bukti bahwa korban bullying yang tidak mendapatkan pertolongan bisa berubah menjadi pelaku kekerasan baru.
Ini bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga sinyal bahwa sistem perlindungan psikologis di sekolah masih rapuh.
Bullying harus dicegah sejak dini melalui pendidikan karakter, empati, dan komunikasi terbuka di rumah maupun sekolah.
Penegakan aturan tegas terhadap pelaku perundungan juga menjadi langkah penting agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Semoga. (*)
Sumber:



