Ketika Sekolah Menjadi Medan Laga
Fatkhul Aziz--
Ada semacam paradoks yang merangkak di ruang-ruang sekolah kita. Di tempat di mana seharusnya akal budi dan nurani ditempa, kekerasan justru menemukan bahasanya yang paling purba. Kita telah menyaksikan rentetan peristiwa yang seolah merobek nalar: tawuran yang berulang bagikan ritus pagan, pemukulan guru oleh murid, kekerasan antarsiswa yang direkam dan disebarkan dengan bangga, hingga yang paling menggetarkan—peledakan bom di lingkungan sekolah oleh pelaku berusia belia.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat peningkatan kekerasan di satuan pendidikan: 20 kasus kekerasan fisik dan psikologis pada 2023, dengan korban dan pelaku sama-sama berasal dari kalangan siswa. Sementara itu, survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 mengungkap 45% siswa Indonesia melaporkan mengalami perundungan setidaknya beberapa kali dalam setahun—angka yang jauh di atas rata-rata OECD (23%). Ini bukan sekadar statistik. Ini adalah cerita tentang ruang-ruang sunyi yang berubah menjadi medan laga.
BACA JUGA:Tubuh yang Tidak Bergerak

Mini Kidi--
Kini, kekerasan itu menemukan dimensi yang lebih mengkhawatirkan. Polri mengungkap pola baru yang lebih sistemis dan menggurita: perekrutan anak-anak dan pelajar ke dalam jaringan terorisme melalui ruang digital. Dalam konferensi pers November 2025, Karopenmas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menjelaskan modus operandinya yang canggih—media sosial, game online, aplikasi perpesanan instan, hingga situs-situs tertutup menjadi jalur infiltrasi.
Yang lebih menusuk adalah temuan asesmen kerentanan Polri: anak-anak korban perundungan, yang kurang perhatian orangtua, berasal dari keluarga broken home, sedang dalam pencarian identitas—merekalah yang paling rentan menjadi sasaran. Sebanyak 110 anak berusia 10-18 tahun di 23 provinsi telah teridentifikasi sebagai korban perekrutan lima tersangka yang ditangkap Densus 88. Angka yang membuat kita tercekat—dari hanya 17 anak pada periode 2011-2017, melonjak menjadi lebih dari 110 anak pada 2025 saja.
BACA JUGA:Negeri dalam Bayangan Banjir
"Artinya kita bisa sama-sama menyimpulkan bahwa ada proses yang sangat masif sekali rekrutmen yang dilakukan melalui media daring," kata Juru Bicara Densus 88 AKBP Mayndra Eka Wardhana. Sebuah pengakuan yang jujur tentang betapa rentannya ruang digital kita.
Strategi perekrut begitu halus dan bertahap. Propaganda disebarkan melalui video pendek, animasi, meme, dan musik yang dikemas menarik—dirancang khusus untuk dunia anak dan remaja. Setelah kedekatan emosional terbangun, barulah narasi-narasi radikal diperkenalkan. Sebuah proses cuci otak yang berlangsung dalam kamar-kamar sunyi, di balik layar ponsel yang sering kita anggap sekadar alat hiburan.
BACA JUGA:Tepuk-Tepuk di Zaman Ruwet
Tawuran, pemukulan guru, hingga perekrutan teroris—semuanya adalah gejala dari kegagapan yang sama. Ketika sekolah hanya menjadi "pabrik" yang mengejar nilai ujian, ketika pendidikan karakter hanya menjadi slogan di dinding, ketika guru terbebani administrasi dan orangtua sibuk dengan urusannya sendiri—maka kekosongan batin itulah yang diisi oleh kekerasan dan narasi-narasi ekstrem.
Sekarang, kekerasan itu telah menemukan bahasa barunya—bahasa digital yang justru lebih mematikan. Bahasa yang menyamar sebagai pertemanan di media sosial, sebagai petualangan dalam game online, sebagai solusi bagi jiwa-jiwa yang terluka.
Kita membutuhkan lebih dari sekadar kurikulum anti-kekerasan. Kita perlu semacam "pembaruan bahasa" yang menyeluruh—di ruang kelas, di keluarga, di ruang digital. Sebuah upaya kolektif untuk menghidupkan kembali percakapan yang membebaskan, mendengarkan luka-luka yang tak terucap, dan membangun perhatian yang tulus terhadap jiwa-jiwa muda yang tersesat.
BACA JUGA:Bencana Industrial
Sumber:



