Padahal, imbuh Ahmad, dia haru menanggung cicilan rumah yang masih cukup panjang. Sisa kredit yang harus diangsur Rp 3.050.000 per bulan masih berderet 51 bulan.
“Dari mana aku dapat uangnya? Dalam kondisi tubuh seperti ini?” tanya Ahmad sambil memandang tajam Memorandum.
Memorandum sempat heran: kami baru saja bertemu, tapi lelaki berkumis tebal mirip sapu ijuk itu sudah sangat terbuka menceritakan penderitaannya. Pasti batin dia sedang tertekan. Stres. Depresi.
“Sabar, Mas. Ini ujian dari Yang Mahaesa,” kata Memorandum, yang mungkin jauh lebih stres andai harus menghadapi kenyataan hidup seperti Ahmad. Ah… ngomong memang sangat mudah. Tapi melaksanakannya? (kos, bersambung)