Nasib Baik Lelaki di Titik Nadir Asanya (3)

Nasib Baik Lelaki di Titik Nadir Asanya (3)

Nasib Baik Lelaki di Titik Nadir Asanya--

Ingin Menjodohkan Istri dengan Mantan

Bukan tanpa alasan bila Ahmad menyarankan solusi itu. Sekitar delapan bulan lalu kekasih pertama istrinya, sebut saja Momon, baru saja ditinggal mati pasangan hidupnya karena kanker.

“Momon itu orangnya sangat baik,” kata Ahmad, yang menjelaskan bahwa dia mengetahui itu karena Momon dulu adalah murid les privatnya mata pelajaran matematika dan fisika.

Menurut Ahmad, Momon cukup lama berpacaran dengan Wati. Lebih dari tiga tahun. Mereka tidak disetujui orang tua Wati karena Momon saat itu terkenal bengal.

BACA JUGA:Sejuta Kisah Rumah Tangga : Nasib Baik Lelaki di Titik Nadir Asanya (2)


“Aku berharap setelah kuceraikan, Wati menikah dengan Momon yang secara ekonomi sangat mapan. Dengan begitu, masa depan Wati bakal lebih tertata. Aku juga bisa menitipkan anak-anak kami kepada Momon,” tutur Ahmad.

Solusi Ahmad memang terdengar masuk akal. Logis. Walau begitu, tidak semudah itu merealisasikannya. Iya kalau Wati mau??? Iya kalau Momon mau??? Iya kalau masyarakat bisa menerima kenyataan itu???

BACA JUGA:Sejuta Kisah Rumah Tangga : Nasib Baik Lelaki di Titik Nadir Asanya (1)

Jadi, wajar kalau Wati menganggap ide suaminya ini gila. “Wati bahkan menangis ketika aku menawarkan solusi ini,” aku Ahmad. Wati mengaku kecewa karena selama ini Ahmad memandang perkawinan mereka hanya berlandaskan kekayaan. Berdasarkan materi.

“Sebenarnya bukan itu maksudku,” kata Ahmad seperti membela diri. Ia mengaku malah ingin membahagiakan istri dan anak-anaknya. Agar mereka tidak terperosok ke jurang penderitaan seperti dirinya.

“Setelah Wati menikah dengan Momon dan anak-anak ikut mereka, apa yang Mas Ahmad lakukan?” tanya Memorandum ingin menjajaki keseriusan Ahmad dalam merealisasikan idenya.

Ternyata Ahmad hanya diam. Toleh-tolah seperti tulup dikethek. Dia lantas menunduk dan bergumam, “Aku tidak tahu apa yang akan saya lakukan.”

“Maksud Mas Ahmad, lari dari tanggung jawab? Begitu?” Jujur, Memorandum tidak sadar telah mengucapkan kalimat yang sangat tidak sopan itu. Keprucut. Tapi, sudahlah. Mungkin Ahmad memang perlu mendengar pertanyaan itu.

Ahmad diam. Menoleh ke arah jalan. Melihat lalu lalang kendaraan yang hanya satu-dua. Waktu itu jam sedang menunjukkan sekitar pukul 15.20. Ada yang mampir membeli rokok eceran. Cuma sebatang.

Setelah permisi, dia mengambil korek milik Ahmad dan membakar rokoknya. Mengisapnya penuh penghayatan. Ahmad ikut-ikutan mengambil rokok terakhir di kotak. Menyulutnya juga.

“Mas Ahmad masih berani merokok? Setelah kena stroke?” tanya Memorandum. Ahmad bergeming. Meneruskan membakar batangan putih yang satu ujungnya menempel di bibir. (jos, bersambung)

 

Sumber: