Oleh: Arief Sosiawan
Pemimpin Redaksi
Rabu (23/10), Presiden Joko Widodo duduk santai di depan Istana Merdeka mengumumkan kabinet yang disebutnya Kabinet Indonesia Maju. Tanpa menampakkan ketegangan berarti, orang pertama di negara ini lantang menyebut satu per satu nama pembantunya yang akan menjalankan amanah rakyat untuk lima tahun ke depan.
Dimulai dari menyebut Mahfud MD sebagai menkopolhukam, panggilan terakhir disebutnya nama ST Burhanuddin sebagai jaksa agung. Deretan nama yang dipanggil itu tak membuat kaget. Sebab, sehari sebelumnya Joko Widodo sudah memanggil mereka. Termasuk Prabowo Subianto, yang dipanggil untuk mengisi posisi menteri pertahanan.
Yang mengagetkan hingga menimbulkan pertanyaan adalah kebersediaan rival Joko Widodo pada pilpres lalu itu menjadi pembantunya di kabinet hingga membuat terperangah para kampret dan cebong.
Tak hanya itu, banyak pendukung Prabowo saat pilpres lalu merasa terbohongi dengan langkah mantan menantu Soeharto, presiden kedua RI, itu. Sebagian besar dari mereka seakan tak percaya Prabowo menerima nasibnya hanya sebagai pembantu presiden. Paling tidak, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang bersikap tegas tidak mau masuk menjadi bagian koalisi tambun ala Joko Widodo menjadi satu-satunya bukti ketidakpercayaan itu.
Tapi, semua itu adalah dinamika politik negeri kita. Semua bisa saja terjadi. Di politik, jargonnya tidak ada kawan tidak ada pula lawan. Yang ada kepentingan.
Apalagi kalau itu sudah jadi pilihan politik Prabowo Subianto, tentu harus pula dihormati.
Nah, lalu apa kepentingan Prabowo mengambil sikap itu, dan apa pula kepentingan Joko Widodo meminta mantan Danjen Kopassus ini menjadi pembantunya. Itu yang harus dicari jawabannya. Apalagi, Prabowo duduk di kursi yang paling strategis dalam sebuah kabinet negara.
Jawaban atas kepentingan itu dipastikan tidak ada yang bisa tahu. Yang muncul hanyalah dugaan-dugaan. Alhasil, pasti banyak ragam yang muncul di permukaan opini rakyat kita.
Ada yang berpikir bahwa itu terjadi karena Prabowo sudah habis dana banyak saat pilpres lalu. Ada juga yang berpikir karena memang sejujurnya Joko Widodo adalah orangnya Prabowo, mengingat dirinyalah yang mengorbitkan mantan gubernur DKI Jakarta, di dunia politik nasional sejak dari wali Kota Solo.
Namun, juga tidak salah jika ada yang berpikir Prabowo Subianto bersedia jadi menteri pertahanan karena posisi itu sangat strategis. Sebab, jika negara dalam kondisi genting, mengingat dinamisasi politik negeri ini yang begitu cepat, maka tugas menteri pertahananlah untuk mempertahankan kedaulatan negeri ini.
Jadi, kita tunggu saja kelanjutan kinerja Kabinet Indonesia Maju yang harus menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari internal maupun dunia internasional yang setiap saat memberi ancaman ketenangan, kenyamanan, dalam bernegara.
Dan, hanya waktu yang bisa membuktikan kebenaran atas langkah dan pilihan politik Prabowo Subianto.(*)