Dalam riuh yang pecah di berbagai kota, kata-kata yang mulanya disusun rapi di plakat dan spanduk kini lenyap diganti amuk.
Ketika asap mengepul dari Gedung Grahadi di Surabaya, atau ketika rumah-rumah pejabat dijarah, ada sesuatu yang hilang: makna dari unjuk rasa itu sendiri.
Bukan lagi soal tuntutan, melainkan kekuasaan dalam bentuknya yang paling kasar.
BACA JUGA:Naik Lagi?
BACA JUGA:Jalan Pintas PBB
Pembakaran dan penjarahan, dua tindakan yang selalu hadir sebagai bayang-bayang gelap dari setiap pergerakan massa, seolah mengambil alih panggung.
Kita seakan lupa, bahwa demokrasi bukan sekadar ritual berteriak di jalan. Ia adalah tentang dialog, tentang tatanan yang meski rapuh, tetap harus dijaga.
Ketika anarkisme datang, ia menghapus semua dialog. Ia tidak bertanya, tidak menuntut. Ia hanya memusnahkan.
Dan dalam kehancuran itu, siapa yang diuntungkan? Mungkin tidak ada.
Hanya ilusi kekuasaan yang sesaat, yang datang bersama panasnya api dan ludesnya barang-barang.
Setelahnya, yang tersisa hanya puing, ketakutan, dan pertanyaan: untuk apa semua ini?