Sang Pendekar di Rimba Anggaran

Sang Pendekar di Rimba Anggaran

Agus Supriyadi--

Dalam tradisi kabinet, Menteri Keuangan selalu dikaitkan dengan gravitasi, dengan ketenangan yang dingin, sebab mereka adalah penjaga kuadran yang paling krusial: Angka.

Tetapi di kabinet hari ini, kita menemukan anomali yang bertenaga: Purbaya Yudhi Sadewa. Ia hadir bukan sebagai filsuf anggaran, melainkan sebagai pendekar, atau, dalam istilah media yang bising, sebagai Menteri Koboi.

Sejak dilantik, ia adalah sebuah protes terhadap kebekuan birokrasi. Geraknya cepat, omongannya lugas, dan kritik-kritiknya, yang dilemparkan ke hadapan publik, terasa seperti hantaman palu godam ke meja rapat yang selama ini selalu tenang.

BACA JUGA:Angka, Nasi, dan Ilusi Kesempurnaan

BACA JUGA:Pelabuhan dan Angka yang Senyap

Ia adalah Menteri yang berani menunjuk wajah-wajah "anak buah" di hadapan kamera—perkara pegawai Bea Cukai yang nongkrong di kafe, atau laporan kerja yang disebutnya "tak masuk akal, mabok kali ni orang!"

Pada titik ini, kita melihat sebuah pergeseran yang menarik.

Purbaya mewakili Etika Kecepatan. Di tengah kebosanan kita terhadap reformasi yang lambat, ia datang membawa janji tentang efisiensi yang nyaris brutal. Ia tak sabar dengan kelambanan, tak toleran terhadap error yang bersifat disengaja.

Namun, setiap kecepatan selalu membawa bayang-bayang. Bayangan itu adalah Etika Jarak.

Ketika seorang Menteri—penjaga otoritas tertinggi—menggunakan bahasa publik yang kasar, meski tujuannya adalah kejujuran dan disiplin, ia telah melampaui batas birokrasi menuju persona. Jarak yang tipis antara ketegasan dan otoritarianisme verbal menjadi buram.

Pertanyaan yang kemudian menggantung bukanlah apakah ia benar atau salah perihal Bea Cukai, melainkan: Apakah reformasi sejati dapat ditegakkan dengan cara yang merusak martabat, bahkan jika martabat yang dirusak itu adalah martabat mereka yang korup atau malas?

Sebab, birokrasi adalah sebuah struktur. Ia adalah kerangka yang menopang negara. Ketika sang arsiteknya terlalu berapi-api, ia berisiko mengorbankan fondasi kepercayaan prosedural demi gairah eksekusi individual.

Kasus utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) adalah panggung lain di mana Purbaya memainkan peran isolasi. Penolakannya yang keras agar utang tersebut tidak ditanggung APBN adalah sikap yang, secara finansial, terhormat.

Ia melindungi uang publik dari godaan bailout yang mudah. Namun, sikap ini juga menunjukkan betapa sulitnya sebuah proyek ambisius berumur panjang jika ia tak mampu menyeimbangkan antara ambisi politik dan realita fiskal yang jujur.

BACA JUGA:Sebuah Negeri di Atas Kertas

BACA JUGA:Ujian Demokrasi

Purbaya, si "pendekar," mungkin adalah tokoh yang dibutuhkan di masa ketika kepercayaan publik pada instansi negara telah terkikis. Ia adalah obat pahit yang merangsang saraf.

Namun, di penghujung hari, kita harus ingat: Angka yang dijaga oleh Menteri Keuangan tidaklah cukup. Yang harus dijaga adalah jiwa dari pelayanan publik itu sendiri. Jika disiplin ditegakkan dengan teriakan dan ancaman di ruang publik, gairah reformasi mungkin cepat membara, namun mudah pula padam, meninggalkan abu.

Sosok Purbaya adalah cermin bagi kita semua: kita mendambakan ketegasan, tetapi pada saat yang sama, kita harus selalu waspada terhadap harga yang harus dibayar oleh ketenangan, kesantunan, dan martabat dalam tata kelola kekuasaan. Kecepatan bukanlah segalanya; terkadang, jeda adalah bentuk kebijaksanaan yang lebih purba.

 

Sumber: