Korupsi Adalah Adat

Korupsi Adalah Adat

--

Ada yang keliru, sungguh keliru, dengan tata krama kekuasaan di Jawa Timur. Bukan sekali dua kali. Sudah 20 kali. Ya, 20 kepala daerah telah diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kali ini, giliran Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko

Kita boleh bilang ini Darurat Integritas. Itu adalah cermin kusam dari sebuah negeri kecil—tingkat provinsi—yang telah membiarkan rasuah menjadi ritual. Korupsi bukan lagi penyakit, ia adalah adat.

Apa yang dicari KPK? Mereka sudah tahu. Mereka sudah wanti-wanti dua minggu sebelumnya di Jakarta: soal Pokok Pikiran (Pokir) DPRD yang kacau, soal Hibah Daerah yang duplikasi, soal e-katalog yang tidak memihak UMKM lokal. Titik-titik rawan yang sama, yang telah menjebloskan belasan pendahulu Sugiri.

Lalu, apa yang terjadi? Pesan itu menguap di udara, seolah nasihat etika tak punya daya tahan di hadapan godaan angka.

BACA JUGA:Ongkos Mahal

BACA JUGA:Sang Pendekar di Rimba Anggaran

Ini bukan hanya soal Ponorogo. Sebanyak 20 kepala daerah di Jatim yang ditangkap KPK adalah Wali Kota Madiun Bambang Irianto, Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko (almarhum), Bupati Tulungagung Syahri Mulyo, Bupati Nganjuk Taufiqurrahman, Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat, Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasa, Wali Kota Mojokerto Mas’ud Yunus (almarhum), dan Wali Kota Pasuruan Setiyono.

Selain itu, Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari, Bupati Pamekasan Achmad Syafii, Bupati Bangkalan Fuad Amin Imron (almarhum), Bupati Bangkalan Abdul Latif Amin Imron, Bupati Malang Rendra Kresna, Wali Kota Malang M Anton, Wali Kota Batu Eddy Rumpoko (almarhum), Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar, Bupati Sidoarjo Saiful Ilah, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali, Bupati Bondowoso Irwan Bachtiar, dan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko.

Lihatlah Sidoarjo: tiga bupati berturut-turut. Lihat Nganjuk, Bangkalan, Malang—perilaku koruptif itu berulang. Ia bagaikan pusaran air, menjebak siapa pun yang mencoba naik ke tampuk kekuasaan.

Kita patut bertanya, dengan nada yang getir: Apakah kekuasaan itu sendiri yang korup, bukan semata-mata orangnya?

Seorang filsuf besar, Lord Acton, pernah menulis: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” (Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak korup secara mutlak.)

Di level bupati, kekuasaan memang tak mutlak. Tapi ia begitu pekat, begitu terkonsentrasi pada penganggaran, perizinan, dan pengadaan, hingga menciptakan semacam ilusi imunitas. Ilusi bahwa ia bisa bermain di balik layar, mengabaikan transparansi, dan meraup untung dari pundi-pundi publik.

BACA JUGA:Angka, Nasi, dan Ilusi Kesempurnaan

BACA JUGA:Pelabuhan dan Angka yang Senyap

Mereka lupa, atau pura-pura lupa, bahwa korupsi adalah kejahatan yang paling dingin. Ia tidak membunuh secara langsung, tetapi ia mematikan pelayanan publik, melumpuhkan kesejahteraan rakyat, dan mencuri harapan dari anak-anak yang seharusnya menikmati pembangunan.


KPK telah memberikan cermin yang jujur kepada Jatim. Skor Survei Penilaian Integritas (SPI) Ponorogo menurun. Responden mengaku menyuap. Bahkan, separuh dari mereka di beberapa dinas bilang suap itu berdasarkan kesepakatan. Ini bukan anomali, ini institusionalisasi aib.

Sugiri Sancoko, saat itu, "mengaku berkomitmen memperbaiki." Ketua DPRD "menilai temuan KPK sebagai pelajaran penting." Kata-kata yang indah, yang ternyata begitu rapuh di hadapan kenyataan.

Mungkin kita harus kembali ke akar yang paling mendasar. Seorang filsuf lain, Jean-Jacques Rousseau, pernah merenung tentang kontrak sosial. Korupsi adalah pengkhianatan terhadap kontrak sosial itu. Itu adalah momen ketika pemimpin, yang seharusnya mewakili Kehendak Umum (Volonté Générale), justru melayani Kehendak Partikularnya sendiri.

Setelah Ponorogo, daftar itu harus ditutup. Tapi, seperti kata bijak yang pahit: Pengalaman seharusnya menjadi guru yang baik, namun bagi mereka yang korup, pengalaman hanyalah katalog cara-cara baru untuk bersembunyi.

Jawa Timur harus memilih. Memilih untuk terus hidup dalam bayangan 20 aib masa lalu, atau membangun kembali, dengan fondasi yang sungguh-sungguh bersih. Kalau tidak, kabar Jumat petang yang tragis itu akan terus berulang, seolah kita dikutuk untuk tidak pernah belajar.

Sumber: