Ongkos Mahal
--
Ada yang lebih dari sekadar mogok massal, bukan?
Itu bukan sekadar Pertalite yang tiba-tiba berkhianat di tangki motor, membuat puluhan mesin di Jawa Timur, atau entah di mana lagi, terbatuk dan diam. Ini adalah suara yang lebih dalam: suara ketidakpercayaan yang membisu, yang sudah lama terpendam.
Peristiwa Awal—jika boleh disebut begitu—bukanlah hari ketika antrean panjang di SPBU itu berakhir dengan mesin yang tersendat. Peristiwa awalnya adalah jauh sebelum itu: sejak janji tentang mutu kerap kali hanya menjadi aksara di atas kertas birokrasi, atau angka yang dimainkan di lab-lab yang tersembunyi.
BACA JUGA:Sang Pendekar di Rimba Anggaran
BACA JUGA:Angka, Nasi, dan Ilusi Kesempurnaan
Motor yang mogok itu—sebuah realitas yang tiba-tiba dan brutal—segera memicu kemarahan publik. Kemarahan, kita tahu, adalah hasil kali dari harapan yang terkhianati dan pengulangan yang memuakkan. Publik tidak marah pada ketidaksempurnaan; mereka marah pada ketidakjujuran yang terkesan disengaja.
Kemudian, seperti drama yang selalu berulang, datanglah Aparat dan Pejabat. Mereka melakukan sidak, mengecek sampel, berjanji akan menindak. Tindakan yang perlu, tentu saja. Tetapi selalu terasa terlambat, selalu terasa seperti gestur yang dipentaskan hanya setelah api amarah membesar.
Air, Api, dan Misteri yang Berulang
Mengapa hal ini kerap terulang?
Di situlah letak misteri utamanya, misteri yang menyentuh inti etika sebuah negara korporasi. Apakah ini kesengajaan—sebuah skandal yang sistemik, disutradarai oleh para manager yang melihat angka laba lebih penting dari nasib rakyat kecil yang bergantung pada motor bututnya? Ataukah ini hanya keteledoran akut, dari pipa distribusi yang bocor, tangki penyimpanan yang terkontaminasi air, atau kontrol kualitas yang malas?
Bisa jadi, keduanya adalah bagian dari mata rantai yang sama.
BACA JUGA:Ujian Demokrasi
BACA JUGA:Pelabuhan dan Angka yang Senyap
Ketika Pertalite, yang konon harusnya memiliki nilai oktan minimal 90, dicurigai bercampur air atau turun mutunya (off-spec), yang sesungguhnya dipertaruhkan bukanlah uang receh atau biaya perbaikan busi. Yang dipertaruhkan adalah martabat. Martabat sebuah bangsa yang semestinya dilayani oleh BUMN-nya sendiri dengan kejujuran mutlak.
Dalam setiap liter bensin yang kita tuang, ada transaksi yang terjadi: kita menyerahkan uang, dan kita meminta, sebagai imbalannya, janji bahwa motor kita akan berjalan. Ketika janji itu khianat, sistem kepercayaanlah yang remuk.
Kekuatan dan Kebijakan
Ini bukan soal teknis semata, ini soal kebijakan.
Dalam sistem yang rapuh, kerapuhan itu selalu berawal dari atas. Jika pengawasan longgar, jika sanksi hanyalah gertakan bibir, jika ada ruang abu-abu di antara laba dan moral, maka air (atau apa pun itu) akan selalu menemukan jalannya ke dalam tangki bensin kita.
Kasus ini adalah cermin gelap yang memantulkan kondisi. Ia menunjukkan bahwa di tengah ambisi besar negara untuk "Maju" dan "Prima," pekerjaan paling dasar—menyediakan energi dengan mutu yang jujur kepada rakyat—masih harus diperjuangkan dengan mogok dan demonstrasi.
BACA JUGA:Sebuah Negeri di Atas Kertas
BACA JUGA:Ujian Demokrasi
Terserah apa pun hasil sidak itu: air, kecurangan, atau murni ketidaktahuan. Yang pasti, bising mesin yang mogok itu adalah alarm bagi kekuasaan. Sebuah pengingat getir, bahwa setiap kebijakan—sekecil apa pun urusan bensin rakyat—memerlukan pengawasan yang prima dan etika yang kokoh.
Sebab, mesin bisa diperbaiki, tetapi kepercayaan yang retak butuh waktu yang jauh lebih lama untuk direkatkan. Dan itulah ongkos mahal dari bensin yang "bermasalah" itu.
Sumber:



