JAKARTA, MEMORANDUM.CO.ID - I Gusti Ngurah Agung Krisna Adi Putra mengajukan permohonan uji materiil terhadap pasal 143 ayat (2) KUHAP ke Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia.
BACA JUGA:Koalisi CBD et al. Indonesia Ajukan Policy Brief Reklasifikasi CBD kepada DPR dan Pemerintah
Uji materi ini dilakukan dengan dukungan pemberi bantuan hukum dari Yayasan Advokasi Bantuan Hukum (Yayasan SIBAKUM) yang dipimpin Singgih Tomi Gumilang bersama-sama Rudhy Wedhasmara, Faisal Wahyudi Wahid Putra, Ferry Yuli Irawan, Nining Kurniati, Fitri Ida Laela, dan Rr Adinda Dwi Inggardiah.
“Permohonan ini didaftarkan secara daring melalui tautan https://simpel.mkri.id/ dengan nomor: 153/PAN.ONLINE/2024, pada hari Senin Legi, tanggal 25 bulan November tahun 2024, jam 21:37 WIB, yang pada pokoknya menggarisbawahi frasa "surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani" dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP, yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Pemohon menilai, bahwa ketentuan ini, dalam praktiknya, kerap menjadi penghalang bagi terdakwa untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil”, ungkap Singgih Tomi Gumilang seperti rilis yang diterima memorandum.co.id, Selasa 26 November 2024.
Ditambahkan Singgih Tomi Gumilang, bahwa fokus uji materi di mana pemohon menyatakan, bahwa penerapan ketentuan administratif terkait tanggal dan tanda tangan pada surat dakwaan sering kali tidak konsisten. Dalam kasusnya, terdapat dua versi surat dakwaan yang ke semuanya tidak diberi tanggal dan ditandatangani Jaksa Penuntut Umum (JPU) Putu Wulan Sagita Pradnyani, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dasar Permohonan, permohonan ini dilandasi Kepastian Hukum dan Keadilan dalam pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap individu atas perlindungan hukum yang adil. Ketidakjelasan norma administratif dapat mengakibatkan pelanggaran hak-hak terdakwa.
Lalu, Multitafsir Hukum terkait frasa "surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani" dalam pasal 143 ayat (2) KUHAP dianggap membuka peluang interpretasi yang tidak konsisten di tingkat pengadilan.
Yang ketiga, Implikasi Praktis di mana surat dakwaan yang tidak diberi tanggal dan tanda tangan menghalangi terdakwa untuk menyusun pembelaan secara optimal, melanggar prinsip due process of law.
Dalam Petitum, pemohon meminta agar MK mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan frasa ‘surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani’ dalam norma pasal 143 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani yaitu surat dakwaan yang diberikan oleh JPU kepada majelis hakim dan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya.Sehingga, norma pasal 143 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209] selengkapnya berbunyi Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani kepada Majelis Hakim dan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya serta berisi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
“Dengan permohonan ini, pemohon berharap Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat menjadi penjaga hak konstitusional setiap warga negara Indonesia memberikan tafsir bersyarat atas norma tersebut, sehingga keadilan substantif dapat diwujudkan tanpa mengorbankan kepastian hukum serta memastikan hukum tidak hanya menjadi aturan, tetapi juga sarana untuk menegakkan keadilan konstitusional yang sejati”, ucap Singgih Tomi Gumilang. (*/iku)