Aku Istrimu, Bukan Bonekamu: Teriakan Tak Selalu Tanda Cinta (2)
-Ilustrasi-
BULAN pernah membaca bahwa cinta sejati tidak berteriak, tidak membanting pintu, tidak membuat seseorang merasa kecil hanya karena tidak sepaham. Tapi itulah yang ia alami sejak beberapa tahun terakhir. Rumah yang dulunya hangat kini terasa seperti ruang interogasi, di mana Bintang, suaminya, lebih banyak mengintimidasi ketimbang berdialog.
Pagi itu, hanya karena sarapan terlambat sepuluh menit, suara Bintang menggema ke seluruh rumah.
“Sudah tahu aku harus ke kantor pagi-pagi, kenapa nasi gorengnya belum siap juga?! Kau pikir aku cuma sopir di rumah ini?!”

Mini Kidi--
Bulan menahan napas. Anaknya yang paling kecil sampai menutup telinga. Tapi bukan pertama kali ini terjadi. Selalu ada alasan untuk Bintang meluapkan amarahnya. Mulai dari kaus kaki yang tidak di tempatnya, remote TV yang hilang, hingga keputusan kecil seperti membeli kebutuhan anak tanpa izin Bintang terlebih dulu.
Dan setiap selesai marah, Bintang punya kalimat andalannya:
“Kamu itu istriku. Tugasmu nurut. Jangan terlalu banyak mau!”
Bulan bukan tidak mencintai suaminya. Tapi ia mulai mempertanyakan: jika cinta harus menindas, apakah itu masih bisa disebut cinta?
Suatu malam, setelah anak-anak tidur, Bulan memberanikan diri bicara.
“Mas, aku capek,” ucapnya lirih.
“Capek kenapa? Baru ngurus rumah aja sudah ngeluh?” jawab Bintang sambil tetap memandang layar TV.
“Aku capek… dicaci. Diatur seperti anak kecil. Aku bukan boneka, Mas.”
Bintang menoleh cepat. Tatapannya tajam.
“Kamu mulai kurang ajar sekarang?”
Sumber:


