Kesedihan di Balik Tragedi Kasus Rempang (1)

Kesedihan di Balik Tragedi Kasus Rempang (1)

--

Hanya Suami yang Tak Memberi Respons

 

Tiwi (bukan nama sebenarnya) menangis tersedu di kantor pengacara dekat gedung Pengadilan Agama (PA) Surabaya. Dua persoalan yang sama-sama berat disangga di pundaknya.

 

“Ayah dan Ibu diusir dari rumah,” katanya ketika ditanya pengacara yang sedang mengurus proses perceraiannya.

 

“Diusir?” tanya pengacara tersebut, sebut saja Win.

 

“Ya. Sekarang mereka sedang jihad melakukan perlawanan,” kata Tiwi, yang menjelaskan bahwa orang tuanya tinggal di Rempang, Batam. Mereka hidup sebagai nelayan.

 

Sudah hampir 20 tahun Tiwi berpisah dari orang tuanya setelah diambil sebagai anak angkat oleh pamannya dan tinggal di Surabaya.

Itu dilakukan bukan karena keluarga Tiwi kekurangan, melainkan karena pamannya yang sudah belasan tahun menikah tapi belum dikaruniai keturunan.

 

Di sela tangisnya Tiwi menjelaskan bahwa bukan hanya orang tuanya yang diusir dari rumah, tapi bersama seluruh tetangga. Tanah yang mereka tempati bakal dipakai untuk membangun proyek raksasa.

 

Untuk keperluan itu, seluruh penduduk desa harus dipindahkan ke tempat lain. “Di tempat itu kabarnya akan dibangun pabrik kaca. Tapi ada juga kabar aka nada orang China yang datang,” kata Tiwi.

 

Menurut Tiwi, seluruh penduduk menolak dipindahkan karena tanah itu sudah mereka tinggali sejak beratus tahun lalu secara turun-menurun. Mereka pernah mengusir Belanda yang mencoba menguasai wilayah iu.

 

“Kami rela mati untuk mengusir siapa pun yang mengusik kehormatan kami,” kata Tiwi mengulangi tekad masyarakat dan tokoh setempat.

 

Tiwi bercerita dengan kesedihan yang amat mendalam, seolah melupakan masalah yang sedang dihadapi saat ini. Kini Tiwi sedang menghadapi suami yang berulah di luar nalar.

 

Diceritakan bahwa sekitar empat bulan silam dia merasakan kebahaiaan yang tiada tara. Dia dikabari dokternya bahwa dia sedang hamil.

Saat itu aku bagai melayang di antara awan. Aku ingin segera membagikan berita gembira itu kepada suami, paman, dan orang tua,” kata Tiwi.

 

Makanya, begitu keluar dari ruang periksa dokter, perempuan berkaki jenjang ini spontan merogoh tas cangklong dan meraih HP di dalamnya. Sejurus kemudian beterbanganlah kabar gembira tadi ke orang-orang tercinta.

Respons kegembiraan balik menyambar Tiwi dan makin melambungkan kebahagiaannya. Kecuali dari Parlan, sang suami. Parlan malah diam, dan tidak lama kemudian justru mematikan HP-nya.

“Aku kira Mas Parlan ingin mendengar langsung berita membahagiakan ini. Aku pun bergegas pulang.  Aku membayangkan belaian hangat suami menyambut kedatanganku,” tutur Tiwi.

Sekilas ada kilatan cahaya di sudut matanya, tapi dengan cepat berubah kelam seolah ditutupi kepingan-kepingan malam yang gelap gulita. (jos, bersambung)

 

 

 

Sumber: