Kesedihan di Balik Tragedi Kasus Rempang (2)
Kesedihan di Balik Tragedi Kasus Rempang--
Berminggu-minggu Tidak Muncul di Rumah
Tiwi menjelaskan beberapa hari kemudian kedua mertuanya datang. Mereka minta maaf dan mengajak Tiwi pulang ke rumah mereka.
Ayah dan ibunda Parlan merasa bertanggung jawab atas perlakuan anaknya terhadap Tiwi.
Tapi, permintaan itu ditolak. Paman dan tante Tiwi juga tidak setuju anaknya pulang ke rumah mertuanya. “Ayah dan ibu Tiwi yang diberi tahu masalah ini juga melarang.”
Diakui Tiwi, setiap bulan dia memeriksakan kandungan ke puskesmas dekat rumah budenya.
“Rutin. Aku takut terjadi apa-apa terhadap anak yang ada dalam,” tambah Tiwi sambil menunjuk perutnya.
Meski Parlan bersikap kasar terhadap bayi yang tumbuh di rahimnya, Tiwi berharap sikap itu berubah setelah sang jabang bayi lahir.
“Mana ada sih orang tua yang tega melihat anaknya terluka dan sengsara? Bisa saja Mas Parlan bersikap kasar karena pengaruh bawaan bayi. Ada kan yang seperti itu? Yang hamil istrinya, tapi yang nyidam suami. Bisa jadi ini seperti itu,” itulah yang terlintas di pikiran Tiwi saat memeriksakan kandungan.
Harapan Tiwi terhadap perubahan sikap Parlan tidak pernah berubah. Itu berlangsung sampai usia kehamilannya menginjak bulan ketujuh. Saat itu terjadi sesuatu yang sama sekali tidak pernah dibayangkan Tiwi.
Dokter yang memeriksanya memanggil secara khusus di ruang kepala puskesmas. Wajah-wajah tegang menyambut kedatangannya. “Aku ikut-ikutan tegang,” aku Tiwi, yang lantas menghela napas panjang.
Tiwi dituntun menuju ruang kepala puskesmas di kanan depan. Sebuah senyum yang seperti dipaksakan tersungging di bibir kepala puskesmas. Tiwi disalami dan dipersilakan duduk.
“Maaf, kami terpaksa mengundang Ibu karena ada sesuatu yang urgent,” kata kepala puskesmas, dokter perempuan berusia paruh baya.
Setelah berputar-putar sambil seperti mencari kata-kata yang tepat, dokter tersebut lantas berterus terang.
“Kami besok akan mengajak Ibu memeriksakan kondisi kesehatan Ibu dan kandungan Ibu ke rumah sakit pusat,” kata kepala puskesmas pada akhirnya.
Pemeriksaan itu perlu dilakukan di rumah sakit pusat karena ada kemungkinan Tiwi dan calon bayinya terpapar virus berbahaya. “Kami khawatir Ibu dan calon bayi itu mengidap AIDS.”
Dunia bagai berguncang hebat. Langit runtuh dan gunung-gunung beterbangan di sekeliling. Tiwi pingsan. “Aku baru sadar di rumah sakit Karangmenjangan,” aku Tiwi.
Saat itu Tiwi dikelilingi om ,tante, dan saudara-saudaranya. Juga keluarga Parlan. Justru Parlan sendiri yang tidak ada. “Mas Parlan?” tanya Tiwi lirih kepada mertuanya.
Mereka tidak segera menjawab. Setelah cukup lama memandangi sang menantu, baru ibunda Parlan membuka mulut.
“Sudah berminggu-minggu Parlan tidak muncul di rumah,” kata perempuan yang separuh rambutnya sudah memutih itu. (jos, bersambung)
Sumber: