Cita-Cita Sederhana Perempuan Jalani Pernikahan (3)

Cita-Cita Sederhana Perempuan Jalani Pernikahan (3)

Sejuta Kisah Rumah Tangga--

Ingin seperti Khadijah, Istri Rasululah

 

Aku butuh nasihat dan dukungan dari orang-orang yang punya pandangan lurus.

Aku tidak mau bertindak gegabah yang pada akhirnya hanya akan merugikan diriku sendiri.

Tapi aku juga tidak mau terus-terusan terjebak dalam penderitaan seperti ini.

 

Aku pernah curhat ke seorang ustazah. Namun beliau hanya bisa memberi nasehat untuk bersabar.

Beliau menceritakan tentang Bunda Khadijah yang selalu “jor-joran” memberikan hartanya untuk dakwah Rasulallah.

 

 

BACA JUGA:Cita-Cita Sederhana Perempuan Jalani Pernikahan (1)

 

Imbalannya bukan main-main, Allah memberikan surga dan hingga kini beliau dikenal sebagai Ummul Mukminin.

Ibunya orang-orang yang beriman, karena pengorbanannya yang begitu besar untuk memelihara orang-orang mukmin yang pada masa itu kebanyakan dari kalangan duafa.

 

Beliau memotivasiku agar seperti Bunda Khadijah, istri Rasulallah, yang ikhlas memberikan hartanya untuk usaha suaminya.

Akhirnya dengan penuh perasaan taat karena ingin mencontoh sebaik-baik wanita dalam sejarah Islam.

Aku pun mengiyakan nasihat ustazah itu. Aku mulai memikirkan bagaimana caranya bisa membantu suami keluar dari masalahnya.

 

 

BACA JUGA:Cita-Cita Sederhana Perempuan Jalani Pernikahan (2)

 

Aku terus berpikir hingga satu ide keluar dari renunganku. Aku masih punya warisan peninggalan almarhum Ayah.

Ada sebidang tanah, aku bisa menggadaikan sertifikatnya untuk modal usaha yang lebih baik.

Agar kami tidak terseret-seret terus dengan usaha yang hampir tidak jalan karena kemalasan suamiku.

 

Aku berharap dengan usaha itu pula kami bisa mencicil uang customer yang dibawa kabur itu.

Tapi, ibuku pasti tidak akan setuju. Apalagi beliau tidak percaya kepada kami karena suamiku yang pemalas.

 

Aku terus membujuk Ibu, dengan janji akan memaksa suamiku untuk bekerja. Aku tidak ingin seperti ini terus.

Aku ingin punya rencana yang matang dalam mengarungi rumah tangga ini. Tidak hanya berdiam diri menunggu keajaiban seperti ini.

Kalau suamiku tidak bisa menahkodai bahtera ini, maka aku yang akan mengambil alih.

 

Meski mungkin aku takkan bisa maksimal, karena fokus utamaku adalah anak-anak. Singkatnya, aku menggadaikan tanah itu.

Aku akan menjadi Khadijah seperti yang dinasihatkan ustazah itu. Aku akan berkorban untuk suami.

Siapa tahu jika ini berhasil dia akan berubah jadi lebih perhatian dan bertanggung jawab kepada kami. Namun tiba-tiba suamiku menjadi paranoid.

 

Dia takut jika kelak dialah yang harus menebus utang gadai itu.

BACA JUGA:Cita-Cita Sederhana Perempuan Jalani Pernikahan (1)

Setiap aku menyodorkannya info lowongan kerja, dia akan marah-marah, karena dia merasa aku akan menjebaknya.

Dipikirnya, aku akan enak-enakan menikmati uang hasil gadai itu, sementara dia yang akan pusing memikirkan bagaimana membayarnya.

Ya Allah, padahal itu hanya persyaratan yang Ibu ajukan kepadaku agar setidaknya uang itu digunakan seperti semestinya.

Bukan dihambur-hamburkan untuk konsumsi, sementara penghasilan kami tidak juga membaik.

 

Sampai suatu hari, entah apa yang ada di pikiran suami, dia mengambil semua uang itu dariku.

Dia kembali dengan strateginya, menguras seluruh isi dompetku agar aku tidak berdaya tanpanya.

Tuhan, impianku pupus sudah. Padahal aku hanya ingin kami sama-sama berjuang membangun keluarga ini. Kita selesaikan bersama segala rintangan yang kita hadapi.

 

Aku tahu, aku juga sering mendengar tentang nasihat-nasihat pernikahan, bahwa tidak mudah menyatukan pemikiran dua orang yang sama sekali berbeda.

BACA JUGA:Cita-Cita Sederhana Perempuan Jalani Pernikahan (2)

Tapi aku tidak berpikir akan serumit ini. Kenapa dia tidak pernah bisa sepakat denganku?

Apa dia tidak berpikir kalau aku begitu susahnya berkorban untuknya sampai sejauh ini?

 

Ah, aku terkadang iri dengar ceramah-ceramah pernikahan, di mana sang penceramah menyuruh sang suami ikhlas menafkahi istrinya dengan layak.

Karena sang istri sudah berkorban untuknya, telah mengandung dan mengurus anaknya, telah mencuci bajunya, telah memasakkan makanan enak untuknya, telah menjaga rumahnya, telah menjaga harga dirinya hanya untuk suami.

 

Dadaku sesak setiap dengar ceramah-ceramah semacam itu. Aku ingin minta sang penceramah untuk menceramahi secara pribadi kepada suamiku.

Aku ingin ada yang mengatakan kepadanya bagaimana perjuanganku. Tolonglah  hai suami, jangan hancurkan rencanaku begitu saja. (jos, bersambung)

 

 

Sumber: