Cita-Cita Sederhana Perempuan Jalani Pernikahan (1)
--
Aset Dijual agar Dapul Bisa Ngebul
Suatu hari istri Memorandum kedatangan sahabat yang sudah berpuluh tahun tidak bertemu. Dia curhat. Isi curhatannya amat menarik, yang akan diturunkan dengan gaya tulis aku. Ini:
Aku pernah menjadi seorang ibu yang penyayang dan istri yang taat kepada suami. Aku menikmati hari-hariku dengan penuh cinta.
Segala yang kulakukan kucurahkan kasih sayang di dalamnya. Taka da pekerjaan kulakukan tanpa rasa cinta.
Saat mencuci pakaian, kubersihkan hingga tidak setitik pun noda menempel. Saat menyeterika, kurapikan agar tidak ada kain yang kusut sedikit pun.
Saat memasak, kuperhatikan nilai gizi dan rasa agar keluargaku suka dengan masakanku.
Terkadang aku mencoba menu-menu baru yang kudapat dari Youtube agar keluargaku tidak bosan dengan masakanku yang itu-itu saja.
Semua itu kulakukan dengan cinta dan kasih sayang yang tulus.
Sebab, yang kurasakan saat itu adalah memiliki mereka bukan hanya sebuah anugerah, tetapi juga sebagai amanah yang Allah berikan kepadaku agar aku rawat dan aku jaga untuk menyusuri bahtera ini sesuai tujuan awal pernikahan, menuju surga-Nya.
Tidak ada sedikit pun terbayang olehku bagaimana jika aku kehilangan mereka.
Sebenarnya, saat kami menikah, suamiku belum memiliki pekerjaan yang layak. Dia hanya punya bisnis kecil-kecilan yang kami urus bersama.
Aku minta modal kepada ayahku untuk membenahi usaha kami. Agar bisa kami kembangkan sehingga bisa mencukupi kebutuhan kami. Ayahku selalu percaya denganku, beliau berikan modal yang kubutuhkan.
Awalnya kami membelanjakan modal itu demi kepentingan bisnis kami.
Tapi tiba-tiba aku melihat aset yang kami miliki untuk bisnis itu berkurang.
Aku bertanya kepada suami, lalu beliau jawab kalau aset-aset itu dia jual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kami.
Saat itu pelanggan sedang sepi. Kami tidak memiliki pemasukan. Jadilah suamiku menjual aset itu demi dapur bisa ngebul.
Aku percaya saja, karena yang kutahu selama ini suamiku adalah orang yang jujur. Lagipula memang sejak awal seluruh keuangan dia yang memegang.
Jadi dia yang lebih tahu tentang kondisi keuangan kami.
Ya, dalam hal keuangan, suamiku yang memegang kendali penuh. Aku tak pernah memegang uang sepeser pun. Jika aku butuh sesuatu, bahkan sekadar membeli beras sekalipun, aku harus minta uang kepada suamiku. Kami tidak memiliki sumber penghasilan lain selain usaha yang kami rintis bersama itu.
Aku pernah punya inisiatif bekerja sebagai penjaga toko di kios milik temanku.
Ada sedikit rasa tidak enak, karena ada kemungkinan aku tidak akan profesional memegang amanah itu.
Karena pikiranku terbagi dengan keluarga dan bisnis yang kugeluti bersama suami. Namun karena pertemanan, temanku tidak masalah, karena dia hanya butuh ada orang yang membantunya mengurus toko.
Aku merasa telah mengambil keputusan yang salah sebenarnya, karena anakku masih bayi. Jadi aku merasa sangat kerepotan mengerjakan semua tugas itu.
Aku pernah membicarakannya dengan suami, namun dia memberikan jawaban yang jauh dari ekspektasiku.
Bukannya memberikan pengertian, dia malah menyesal jika aku harus berhenti bekerja.
Sumber: