Suami Berubah Emosional setelah Di-PHK Pascapandemi (2-habis)
Nana mengakui bentakan-bentakan dan sikap kasar suami meninggalkan luka di dada. “Saya kecewa. Tidak adakah cara yang lebih baik untuk meluapkan amarah? Saya akui, bentakan-bentakan tadi kadang menjadi teman terbaik di saat sedang menyendiri.” Kembali pandangan Nana dengan rambut terpotong rapi itu menyapu ruangan. Tidak ada yang lepas dari tatapannya. “Adakah cara lain yang harus saya lakukan menghapi suami emosional?” tanyanya. Sang pengacara hanya tersenyum. Sepi. Sayup-sayup terdengar suara tukang bakso menawarkan dagangan, “Bakso… bakso…” Kata Nana, suaminya pasti tahu bahwa bentakan-betakannya menimbulkan rasa sakit hati, "Ketika dia memanggilku atau menyalah-nyalahkan aku dengan nada tinggi, hatiku terasa sakit. Bentakan itu membekas hingga menimbulkan nyeri di dada. Saya tak kuasa lagi mengatasinya.” Menurut Nana, awalnya dia tidak tahu sampai kapan bisa menahan diri agar tidak membalas bentakan suami dengan dengan perilaku serupa, “Akhirnya saya tidak kuat. Saya ajukan gugatan cerai. Walau begitu sampai kini saya masih bisa memendam rasa sakit di dada dan berhasil untuk tidak berkata kasar padanya.” Nana yakin, bila memendam terlalu lama sakit hatinya, uangkapan kasa akan keprucut dari bibirnya. Dan, itu diyakininya aka lebih kasar dari apa yang diucap Nono selama ini. “Itu artinya dosa. Nah, saya tidak mau melakukan itu,” tegas Nana. Kalau diterus-teruskan, Nana yakin rumah tangganya akan lebih hancur lebur. Dampaknya pasti lebih buruk lagi kepada anak-anaknya yang masih duduk di bangku SD. Dalam beberapa kali pertengkaran terakhir, Nana meliahat fenomena yang lebih mengkhawatirkan. “Saya lihat tangannya sudah gemetaran ingin mendarat di tubuhku. Andai waktu itu tidak cegera menghindar, mungkin saja tangannya sudah memukul wajah atau dadaku,” kata Nana. Yang jelas, luapan emosi Nono sudah meluber ke anak-anak. Sudah beberapa kali mereka menjadi sasaran amarah ayahnya, padahal tidak jelas kesalahan apa yang mereka lakukan. Tiba-tiba saja si sulung yang baru duduk di kelas enam dijambak rambutnya ketika kenolak ketika disuruh beli rokok di warung depan rumah. “Dia tidak mau beli sendiri. Kasihan kan anak kami baru pulang sekolah dan udara sangat panas. Mbok berangkat sendiri, wong cuma di depan rumah.” Nana mengatakan, di awal pernikahan tingkah laku suaminya tidak sekasar itu. Dia memang pendiam, tapi tidak pernah berlaku kasar. Kalau sedang tidak enak hati paling-paling diam membisa dan mengurung diri di dalam kamar. Tapi sejak menganggur pasca-PHK secara sepihak karena pandemic Covid-19, dua tahun lalu, emosinya sering tidak terkendali. Apalagi sejak bergabung dalam komunitas barunya. “Dia punya lima teman. Semua pengangguran. Kumulnya ya selalu kelima lima orang itu. Kaluar ya grudak-gruduk. Kalau di kamar selalu ngendon lama dan tak mau diganggu. Kalau ada yang mengetuk, selalu marah-marah,” kata Nana. Lambat laun barang-barang di rumah habis terjual. “Yang terakhir sepeda motor satu-satunya sarana transportasi kami terjual.” Maka, sebelum semuanya habis dan rumah tangganya hancur lebur, Nana nekat mengajukan gugatan cerai. “Anak-anak akan kuperjuangkan agar ikut saya semua,” katanya. (jos, habis)
Sumber: