Ketika Poligami Menjadi Solusi Kisruh Rumah Tangga (2)
Dahlan menikahi Ike saat berusia 25 tahunan. Ike jauh lebih mudah, 20-an. Waktu itu Dahlan barusan diterima bekerja sebagai staf sebuah bank. Ike masih kuliah. Sejak menikah, keinginan Dahlan dan Ike untuk segera menimang momongan tidak segera terkabulkan. Pada tahun-tahun pertama sih masih bisa mereka lalui dengan santai. Cuek bebek. Gojlokan para famili ditanggapi dengan guyonan. Ada-ada saja alasan mereka untuk menutupi kenyataan Ike yang tidak segera kunjung hamil. Kadang Ike beralasan menunggu lulus kuliah. Kadang Dahlan mengatakan nunggu punya tabungan dulu. Dll. Dsb Dst. Ketika Ike sudah lulus kuliah, pasangan pasutri ini mulai kebingungan mencari-cari alasan soal ketidaksegerahamilan Ike. “Padahal, sejak awal menikah kami sudah berusaha segera punya anak,” aku Dahlan. Setiap saran orang pasti dituruti agar Ike bisa cepat hamil. Termasuk saran-saran yang tidak masuk akal. Misalnya, Dahlan harus rutin melakukan hubungan dengan posisi nungging. Sebaliknya, hubungan harus dilakukan secara klasik alamiah. Istri cukup njebablah pasrah begitu saja. Ike juga mempraktikkan saran-saran lain. Yang harus minum ramuan herbal inilah. Yang harus minum rebusan rumput fatimalah. Yang harus makan buah inilah, buah itulah. “Bahkan mengutuk orang hamil yang sedang lewat di depan rumah. Agar terkutuk balik dan tertular hamil. Ada-ada saja, tapi bagaimana lagi. Semua kami lakukan, walau kadang lucu dan tidak masuk akal,” kata Dahlan. Upaya medis dan mistis pun dilakukan. Tapi idem ditto. Tidak ada yang nyantol. Tidak ada yang berhasil. Perut Ike masih selalu rata. Rahim Ike masih hanya dilalulalangi indung telur tanpa pernah terbuahi. Sampai suatu ketika Dahlan bertemu mantan kakak kelasnya di SMA yang kini jadi dokter spesalis kandungan. Bukan hanya master, temannya itu menyandang gelar doktor. Profesor doktor. Dahlan menyandarkan harapan. Berharap mudah-mudahan sang teman bisa menjadi jalan keluar masalahnya. Ike pun diperiksa dengan seksama. Keluar-masuk ruang laboratorium. Hasilnya, disimpulkan Ike sulit dibuahi. Teramat sangat sulit uekali. Ada kelainan di lorong rahim. Andaipun bisa dioperasi, hal itu hanya bisa dilakukan sekali. Sekali saja. Bila dipaksakan berulang, nyawa Ike menjadi taruhan. Setelah berdiskusi, Dahlan dan Ike memutuskan ikut program penghamilan yang diupayakan teman Dahlan. Tanpa biaya. Gratis. Bermodalkan pertemanan. Walau begitu, itu bukan berarti Dahlan dan Ike tidak mengeluarkan duit. Pasutri ini harus bolak-balik Surabaya-Singapura, karena dokter teman Dahlan tadi berpraktik di rumah sakit Singapura. Selain itu, Dahlan dan Ike harus menginap di hotel selama mengikuti program di negeri jiran berlambang kepala singa itu. “Kami butuh tiga kali bolak-balik. Sampai akhirnya Ike benar-benar hamil dan diperbolehkan pulang ke tanah air. Ada banyak pantangan yang Ike jalani. Salah satunya, Ike tidak boleh melakukan hubungan suami-istri selama kehamilan,” kata Dahlan. (jos, bersambung)
Sumber: