Palsu Surat Tanah, Divonis 8 Bulan

Palsu Surat Tanah, Divonis 8 Bulan

Surabaya, Memorandum.co.id - Soehartono akhirnya divonis dengan pidana penjara selama 8 bulan. Majelis Hakim menyatakan pria 67 tahun itu terbukti bersalah memalsukan surat kepemilikan tanah. Dalam amar putusannya, majelis hakim yang diketuai Moch Taufik Tatas itu menilai perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur pidana sebagaimana pasal dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) Rakhmad Hari Basuki. "Mengadili, menyatakan terdakwa Soehartono terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 263 ayat (1) KUHP. Menjatuhkan oleh karenanya dengan pidana penjara selama 8 bulan," kata hakim Tatas saat membacakan amar putusan di Ruang Candra, PN Surabaya. Senin (19/9). Selain itu, dalam putusan itu majelis hakim menyatakan barang bukti seluruhnya termasuk tanah di dukuh pakis untuk diberikan kepada PT Alfa Retailindo. Hal-hal yang membuat majelis hakim berkeyakinan untuk menyatakan Soehartono bersalah dari dakwaan JPU dan keterangan saksi serta bukti telah memperkuat dakwaan. "Menimbang bahwa, fisik, bukti, dan bangunan tidak sesuai kenyataan dan merupakan milik PT Alfa Retailindo di alamat Jalan Raya Dukuh Kupang Nomor 126 RT. 01 RW. 04, Kelurahan Dukuh Pakis, Kecamatan Dukuh Pakis yang dipergunakan untuk supermarket. Menimbang bahwa sesuai fakta hukum persidangan, surat hukum fisik sebidang tanah dan bangunan tidak dalam sengketa yang merupakan surat palsu," ujarnya. Adapun beberapa hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman. Baik yang meringankan dan memberatkan Soehartono. "Hal yang memberatkan terdakwa adalah perbuatannya merugikan masyarakat pihak PT Alfa Retailindo. Sedangkan, hal yang meringankan adalah sopan selama persidangan dan lanjut usia," tuturnya. Sementara itu, JPU, Rakhmad Hari Basuki langsung mengajukan banding perihal putusan tersebut. "Kami banding yang mulia," katanya. Sedangkan, Penasihat Hukum Soehartono, yakni Rahman juga mengajukan banding. Menurutnya, fotokopi surat oleh pelapor tidak sesuai dan tidak bisa dijadikan alat bukti. Rahman lantas menampik dan menyebut kliennya tak pernah melakukan pemalsuan surat seperti yang dituduhkan. Meski, bukti dan fakta persidangan menyatakan Soehartono terbukti bersalah melanggar pidana. "Padahal, fotokopi itu tidak bisa dijadikan alat atau barang bukti. Otomatis, mulai proses penyidikan hingga persidangan tidak memenuhi kualifikasi. Dari sisi mana dan apa yang dipalsukan (terdakwa)? Padahal, tidak ada 1 dokumen pun yang dipalsukan," kata dia. Untuk diketahui, perkara ini bermula saat PT Alfa Retailindo membeli tanah tersebut kepada Riyanto Nurhadi pada 1996 dengan status HGB. Jual beli ini sah dan didaftarkan ke instansi terkait. Tiba-tiba, muncul nama Soehartono yang mengaku sebagai ahli waris atas tanah itu. Ia lantas menggugat PT Alfa Retailindo ke PN Surabaya pada tahun 2000. Gugatan Soehartono sia sia dan kandas di tingkat pertama. Lalu, ia banding dan kasasi. Tak berhenti sampai di situ, upaya serupa dilakukan Soehartono pada 2007. Saat itu, ia mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan dikabulkan. Belakangan, terungkap bila novum yang digunakan Soehartono adalah palsu. Nahas, Soehartono akhirnya dibui. Hukuman itu pun inkracht atau telah berkekuatan hukum tetap melalui putusan kasasi di tahun 2008. Kendati begitu, Soehartono ngotot. Justru, mengajukan permohonan eksekusi ke PN Surabaya. Usai menelaah dan mempelajari perkara secara seksama, Ketua PN Surabaya menetapkan putusan PK tahun 2007 tak bisa dilaksanakan atau non executable. Alasannya, PK diputus berdasarkan novum palsu. Kendati permohonan eksekusinya ditolak, Soehartono mengajukannya berulang kali. Hingga akhirnya Soehartono dilaporkan ke Polda Jatim dengan delik pidana membuat surat palsu serta menempatkan keterangan palsu dalam akta autentik. Mengingat, Soehartono diyakini menggunakan sejumlah keterangan palsu dalam mendapatkan bukti kepemilikan atas tanah itu. (jak)

Sumber: