Kasus Kekerasan Seksual Kabupaten Malang Tempati Ranking 1

Kasus Kekerasan Seksual Kabupaten Malang Tempati Ranking 1

Malang, memorandum.co.id - Kurangnya pengawasan serta kasih sayang pada anak memicu terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak, menyeret Kabupaten Malang menduduki rangking 1 di Jatim atas kasus tersebut. “Kasus kekerasan terhadap anak trendnya terus naik, apalagi bila dibandingkan dengan tahun 2021,” terang Kanit UPPA Satreskrim Polres Malang Aipda Erlehana br. Maha, Selasa (26/7/2022). Tahun 2021 ada sebanyak 152 kasus yang korbanya perempuan dan anak, dari jumlah itu ada 65 kasus kekerasan sexual terhadap anak. Dari 65 kasus tersebut yang pelakunya orang dekat korban ada 8 tersangka, semisal ayah kandung, ayah tiri, kakak kandung dan yang lainnya. Sedangkan untuk tahun 2022 mulai bulan Januari hingga Juli sudah ada 135 kasus yang laporannya masuk UPPA Polres Malang. Dari kasus yang masuk tersebut sebagian besar telah tertangani, bahkan sudah ada yang dilimpahkan pada Kejaksaan. “Dari perkara yang masuk tahun ini ada sebanyak 40 kasus kekerasan seksual, yang korbannya anak ada 35 kasus sedangkan yang 5 kasus tersangkanya anak,” kata Leha, sapaan akrab Erlehana. Tahun 2022 ini terjadi peningkatan kasus kekerasan sexual terhadap anak, hingga bulan Juli jumlahnya mencapai 135 kasus. Sedangkan, tahun 2021 selama setahun hanya ada 152 kasus, korbannya lebih banyak melibatkan anak. “Kalau dilihat secara spesifik faktornya dari kondisi keluarga, semisal keluarga tidak utuh sehingga kurang dalam memberikan kasih sayang,” imbuh Leha. Sedangkan kasus yang terjadi pada Pondok Pesantren (Ponpes) laporannya lebih banyak di tahun 2021, bahkan sampai pihak UPPA lakukan sosialisasi 3 kali pada Ponpes. Tahun 2022, juga ada kejadian di Ponpes namun hanya kekerasan fisik, namun kasusnya sudah selesai di tingkat Restorative Justice karena pihak keluarga menerima serta memahami dan korban mendapatkan pengadilan dan biaya pengobatan. Selama ini, pihak UPPA menjauhkan anak dari peradilan formal, karena secara psikis kurang baik buat anak. Maka UPPA melakukan jemput bola pada setiap permasalahan yang melibatkan anak, baik itu yang ada di Ponpes maupun secara umum. “Biasanya permasalah itu masuk pada kepolisian, tidak selesainya kasus tersebut pada jalur musyawarah sehingga orang tua korban membawa kasus tersebut pada kepolisian,” jelas Leha. (kid/ari)

Sumber: