Dipaksa Nikah dengan Santri (1)

Dipaksa Nikah dengan Santri (1)

Selalu Ada di Masjid

Perempuan cantik itu, sebut saja Komaria, mengaku menikah vs Bakir (samaran) karena terpaksa. Kok bisa? “Aku dipaksa Bapak,” kata Koma kepada pengacara di kantornya, area Pengadilan Agama (PA), Jalan Ketintang Madya, beberapa waktu lalu. Wajahnya layu. Garis-garis kecantikannya seolah pudar oleh suasana hati. “Kak Bakir dulu tinggal sekampung di Malang selatan,” imbuh Koma. Menurut perempuan dengan rambut tebal sepinggang ini, Bakir adalah anak yang taat kepada orang tua dan rajin ibadah. Tabiatnya yang seperti itu terbawa-bawa sampai dewasa. Koma sering merasa rishi sendiri bila berpapasan di jalan, sebab sopan santunya sepertinya berlebihan. Kepada siapa pun. Koma bahkan sampai geli menyaksikan ulah Bakir. Kampungan banget. Setiap ada acara ramai--ramai di kampung, kata Koma, Bakir selalu tidak pernah kelihatan bergabung sama teman--teman seusianya. Di rumahnya pun pasti tidak ada. Orangtuanya akan menjawab, “Kak Bakir di mesjid Nak, menghadiri taklim.” Memang mudah sekali mencari Bakir sejak lulus dari Pesantren Modern Al-Firqoh An-Najiyah. Cari saja di masjid, pasti ketemu. Bakir sering membantu orang tua berdagang. Kadang terlihat bersama bapaknya di kebun atau di sawah. Inilah yang kadang disayangkan Sebagian teman sebayanya. Ia dianggap tidak memanfaatkan potensi dan kelebihan-kelebihan diri. Secara penampilan fisik, Bakir memang terlalu sederhana untuk menjadi bagian dari keluarganya yang serba kecukupan. Gadis-gadis kampung suka menggodanya saat dengan gaya culun terkadang mewakili bapaknya menghadiri kondangan. Tapi bagi Koma, itu adalah hal yang biasa-biasa saja, sebab dia sendiri merasa bahwa Bakir adalah sosok yang tidak istimewa. Apa sih istimewanya menghadiri taklim, kuper, dan kampungan banget. Kadang ia bertanya, “Kok bisa yah ada orang bersekolah di kota namun begitu kembali tidak ada sedikit pun melekat ciri-ciri kekotaan pada dirinya.” HP gak ada. Selain membantu orang tua, kerjanya hanya ngaji, salat, taklim, dan kembali bantu orang tua. Gitu aja muter-muter. Seolah ruang lingkup hidupnya hanya monoton pada yang itu-itu saja. Tidak pernah nonton, tidak pernah cangkruk bareng teman--teman, padahal setiap malam Minggu di pertigaan kampung ramainya luar biasa. Waktu terus bergulir. Dan seperti gadis-gadis modern pada umumnya yang tidak lepas dari kata pacaran, Koma pun demikian. Dia memiliki kekasih yang begitu sangat dia cintai, sebut saja Fatah. Masa-masa indah mereka lewati bersama. Koma bahagia. Kedua orang tua Fatah sangat menyayanginya, dan sepertinya memiliki sinyal-sinyal restunya atas hubungan mereka. Tapi takdir berbicara lain. Kedua orang tua Koma tidak merestui Koma menjalin hubungan vs Fatah. Dan ternyata bukan tanpa alasan orang tua Koma bersikap demikian. Rupanya Koma sudah dipersiapkan jodohnya. Dialah Bakir, anak sahabat ayah Koma sejak kecil. (jos, bersambung)

Sumber: