Pernikahan Santriwati (2)

Pernikahan Santriwati (2)

Dilamar di Pagi Buta

Dua tahun sepeninggal Bu Nyai, suatu pagi buta selepas salat Subuh, tiba-tiba Umu dipanggil Kiai Soleh. Dengan hati berdebar-debar Umu pun memenuhi. Ternyata di ruang keluarga sudah menunggu Kiai Soleh, Gus Ipul, dan seorang perempuan cantik. Melihat itu debaran hati Umu semakin kencang. Pikirnya: jangan-jangan ini waktu yang dia tunggu-tunggu telah tiba. Waktunya dilamar. Umu melirik Gus Ipul. Memang ganteng. Dan gagah, Dan berwibawa. Pokoknya keren. Hatinya kembali berharap mudah-mudahan ini waktu yang ditunggu-tunggu itu. Tiba-tiba Kiai Soleh berdehem. Suaranya menggema di sudut-sudut ruangan. Umu langsung ciut. Harapannya mendadak menguap. Lenyap. “Umu bisa mengira-ngira mengapa saya minta sowan?” kata Kiai Soleh. Tanpa berpikir Umu mengangguk. Tapi buru-buru gerakan mengangguk itu dia ubah menjadi gelengan. “Lho, kok mengangguk sekaligus menggeleng? Yang bener yang mana?” tanya Kiai, disusul tawa renyah. “Ngapunten Kiai, Umu dereng mengertos,” tutur Umu, lirih. Setelah bernapas panjang dan berat, Kiai Soleh mengatakan bahwa dia memanggil Umu untuk ditawari menikah. Mak-plas… dada Umu bergetar keras dan semriwing seperti diterpa angin gunung. Dingin. Sejuk. Ucapan alhamdulillah beresonansi di ruang hatinya. Berulang-ulang. Hilang dan pergi. Pucuk dicinta ulam tiba. Wajahnya langsung terasa panas. Pasti memerah dan membara. Matanya spontan melirik Gus Ipul. Namun yang dilirik justru menunduk sambil meremas telapak tangan perempuan di sebelahnya. “Kok?” tiba-tiba kepala Umu nggliyeng. Serasa berputar-putar. Kiai Soleh meneruskan dawuh-nya bahwa dia merasa kesepian sejak kematian Bu Nyai, dua tahun lalu. Karena itu, dia berharap Umu bisa menggantikan posisi Bu Nyai sebagai istri Kiai Soleh. “Pak Kiai mengawini santrinya yang jauh lebih muda juga sering terjadi di dunia pesantren. Fenomena ini bahkan dianggap sebagai berkah oleh keluarga santriwati yang dinikahi kiainya. Kadang sebagai istri utama, namun kebanyakan sebagai istri kedua, ketiga, atau keempat,” jelas Ikin. Mendengar ucapan Kai Soleh, meski terputus-putus karene terpaan kekecewaan mendalam, Umu meneteskan air mata. Sedih. Kecewa. Mangkel dll dsb dst bercampur menjadi satu. Umu kecewa mengapa yang ingin menginginkannya bukan Gus Ipul yang ganteng dan gagah, namun ayahnya yang sudah renta, yang usinya saat itu sekitar 70 tahun. Celakanya, tangis itu diterjemahkan Kiai Soleh sebagai ungkapan kebahagiaan, sehingga Kiai Soleh dengan yakin mengatakan esok akan melamar Umu ke orang tuanya di kawasan Kenjeran. (jos, bersambung)    

Sumber: